Sabtu, 08 Desember 2012

Intelektual Muda dan Gagasan Orisinil



Eneng Humaeroh
 
Siang tadi udara cukup cerah, tidak ada tanda-tanda hujan akan turun di tanah Jakarta. Sembari makan siang aku dan teman-teman berdiskusi gaya bebas, mulai dari diskusi perbaikan tesis, presentasi proposal,  filsafat-nya Mulla Shadra sebagai kokojo sampe daging ayam yang sexy, lelucon-lelucon lucu pun bermunculan sebagai interpretasi rasa. Ah waktu sudah merambat, kelas percepatan study ala pak Humaidi alaihi salam eh, humaidi as maksud saya sudah hampir dimulai, kami bersiap menuju kampus kembali.
Tuhan berkehendak lain, di depan kampus aku bertemu teman seangkatan tapi karena ia pencinta ilmu maka ia terun mengulang ilmu theology-nya di kelas matrikulasi, Andini, meminta aku menemaninya minum di kantin. Karena aku sayang kepadanya maka kupenuhi permintaannya.
Nah, sementara aku, Andini duduk dengan dua teman yang lain, profesor Mulyadi Kertanegara datang menghampiri kami, mengucapkan salam dan menyalami kami satu persatu, wah baru nih ceritanya ada profesor yang mendatangi mahasiswa dan menyalami terlebih dahulu, biasanya profesor suka ja’im apalagi duduk bareng di sebuah kantin sederhana. Pak profesor memesan makanan, nasi putih, sepotong ayam goreng dan lalap mentimun, sederhana sekali itu makanan, mirip makanan mahasiswa. Dimeja itu kami makan bersama. Aku hanya memesan teh panas, karena khawtir difitnah gembul makan melulu. Sambil makan terjadilah diskusi tentang epstemologi filsafat Islam dengan sang profesor. Sambil melahap makanan, beliau berkata, “saya nanti awal bulan Januari akan terbang ke Brunai, mengajar disana, di sebuah universitas yang besar”.
“wah pak......selamat, saya sangat senang mendengarnya” jawabku dengan antusias. Teman-teman bereaksi, karena merasa satu persatu dosen berkualitas meninggalkan ICAS.
“ada motivasi lain yang membuat saya menerima tawaran itu”. Sambungnya, kami terdiam, menyimak dengan serius obrolan kami.
“apa itu pak?”. Tanyaku spontan
“karena selama ini Indonesia hanya mengirimkan TKI pembantu rumah tangga saja kesana, memalukan sekali kita ini. Dalam wawancara di Malaysi minggu lalu saya mengatakan bahwa Indonesia memiliki segudang orang-orang pandai, profesor, tehnokrat, pemikir, intelektual muda atau banyak lainnya, tapi yang selalau di dengungkan Indonesia bangsa yang murah karena hanya mampu ekspor TKI ke luar negeri”. Pak Mul mejeaskan panjang lebar.
“betul pak, saya pikir bapak memang sudah pantas untuk melangkah menginternasionalkan bapak, karena di dalam negeri gagasan dan pemikiran bapak tidak akan berkembang, monoton serta tidak dikenal oleh negara lain, akan menjadi sangat terbatas”. Aku menimpali perkataan pak Mul. Beliau mengangguk tanda setuju, kemudia ia meneruskan pendapatnya, “saya ingin buku-buku saya ditulis dalam bahasa inggris, diterbitkan di luar negeri agar lebih di kenal”.
“wah, bagus pak..... di Brunei bapak bisa mencari akses, pemerintah Brunei atau pihak yang inters dengan ilmu pengetahuan agar dapat mentranslet tulisan bapak ke berbagai bahasa, dengan begitu jalan bapak untuk menginternasionalkan diri bisa di capai”.
“rencananya begitu”. Jawabnya
“amin... semoga tercapai ya pak, dan membuktikan kalau negara ini bukan gudang TKI tapi gudangnya pemikir”. Jawabku lagu, pak profesor tertawa, kami semua tertawa berdera.  Kemudian  kami terlibat dengan diskusi tentang epistemologi, lumayan transfer ilmu tanpa harus susah payah duduk di kelas, selain itu pak Mul memberikan kritik terhadap intelektual muda yang seringkali mengkaji ilmu yang sepihak, artinya ketika belajar Filsafat Islam, Filsafat tidak dipelajari sehingga argumentasi dangkal untuk memberikan kritik, sebaiknya katanya mempelajari filsafat harus keseluruhan agar kita tahu kebaikan dan kekurangan dari kedua pandangan tersebut. Dan hal yang paling sering dilupakan intelektual muda adalah jarangnya menulis, mengungkapkan gagasan dan ide orisinilnya, banyak kaum intelektual muda yang hanya menyampaikan apa yang ia ketahui dari pandangan tokoh yang ia pelajari namun, tidak memiliki pandangannya sendiri. Idealnya intelektual muda memiliki gagasan dan pemikiran sendiri jangan hanya mencukil, tetapi segera memposisikan diri, uraian sang profesor sangat tegas dan jelas.
“lalu bagaimana cara memposisikan diri?  sementara ketika kita menuangkan gagasan dan ide, semua terinspirasi dari tokoh yang kita kagumi” tanyaku.
“pemikiran berangkat dari pengalaman hidup, dan itu pasti ada pemikir atau tokoh yang mengatakan hal yang sama, disanalah  kita mencari posisi”. Jawab pak Mul. Aku setuju intelektual muda jangan cima menukil pendapat orang lain, tapi memiliki pandangan sendiri dan pandangannya harus memiliki dasar pijakan.
Sebuah pematangan diri, dialog yang sangat menginspirasi. Diskusi yang familier tanpa terhalang status dan tingkat keilmuan, seorang profesor yang terbuka dengan siapa saja yang mencintai ilmu dan memiliki keinginan mengembangkan ilmu. Yah... semisal ratusan atau jutaan profesor seperti pak Mulyadi, rendah hati, terbuka dan selalu memberi motivasi kepada siapapun, aku yakin Indonesia tidak akan sesemrawut ini. Kaum intelektual dengan suka rela memberikan sumbangsih pemikiran demi negaranya, bukan mencari sesuap nasi di dalam negaranya.

penulis adalah Pengurus Partai Amanat Nasional
Wakil Sekretaris DPD Kota Bandung
Mahasiswa ICAS-Paramadina, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar