Politik Etika dan Keadaban ;
Rekontruksi Pemikiran Politik Islam dalam Konteks Keindonesiaan
Perdebatan
pemikiran politik Islam di Indonesia belum hendak tuntas sejak bergulirnya
reformasi. Kenyataannya adalah terdapatnya kubu yang berbeda dalam
menggeneralisir pandangan politik Islam, bahwa Islam terpisah dari negara dan
tidak memiliki sangkut paut dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan negara,
sementara sisi lain pandangan bahwa Islam semestinya menjadi dasar ideologi
negara dan syariat Islam masuk dalam konstitusi negara.
Perdebatan
ini kemudian menemukan titik dimana nilai-nilai Islam secara substansi menjadi
kerangka dasar nilai etika dan moral berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Islam dan etis menjadi acuan
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi pasca reformasi
selaras dengan perkembangan politik Indonesia, penodaan pasca orde baru
terkikis dengan sempurna. Deontologis demokrasi sebagai sistim pemerintahan di
negara ini merupakan realitas entitas yang tidak dapat dielakan lagi.
Seiring
berjalannya waktu, realitas alur pemikiran mengalami penyimpangan. Hal tersebut
terlihat dari nihilnya indikasi transisi menuju demokrasi otentik (authentic
democracy). Publik mulai mengalami pesimisme terhadap stabilitas politik yang
semakin menunjukan kecenderungan yang akibatnya mempengaruhi laju perekonomian
nasional yang terus menurun.
Stabilisasi politik
nasional sangat krusial dalam mengelola negara. Bertentangan dengan hal itu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seolah
trial and error dalam membuat sistem pemerintahan yang ideal dalam kultur
negara yang plural dan majemuk. Stabilisasi politik beririsan dengan elit
politik dimana setiap pemilu tidak melahirkan kebijakan yang etis dan
berkeadaban. Kalangan Islam telah terjebak dalam mendefinisikan demokrasi
kebebasan berdasarkan syari’at Islam. Elit-elit politisi Islam kurang siap
dengan realitas pertempuran ideologi politik nasional, yang pada akhirnya
sebuah statement Islam Yes Partai Islam
No menjadi produk antítesis terhadap realitas entitas politik Islam yang
baru saja lahir.
Deontologis Politik Islam;
realitas transisi demokrasi
Deontologis
sistem politik pasca reformasi dapat dilihat dari bermunculannya partai-partai
politik berideologi Islam, suatu keniscayaan bahwa pemikiran Islam berkembang
pesat dengan realitas terlepasnya sumbatan politik ciptaan orde baru. Tekanan
politik seolah pudar dan arus demokrasi meluas hampir tiada kendali. Pada
perkembangan berikutnya masa-masa kebebasan ini menjadi sebuah transisi dimana
seleksi politik tetap berlaku.
Fragmentasi
politik mulai melanda partai-partai politik. Semakin tajam dan krusial,
aksi-aksi sosial yang menuju kerentanan konflik dan perpecahan bangsa bukan
semata dikalangan elit politik semata tetapi melanda masyarakat secara
signifikan. Berbagai segmen masyarakat mudah digelincirkan pada sikap a priori
dan anarkis. Politik tidak mampu meredam isu disintegrasi bangsa dan kebebasan
yang melewati batas kewajaran dan melenyapkan nilai-nilai etika berpolitik.
Deontologis politik Islam menjadi bias dan tidak tercapainya kesepakatan makna
nilai-nilai luhur dalam meletakan pondasi konstitusi negara.
Ambiguitas
politik Islam terus berlangsung meskipun beberapa kebijakan publik mampu
dibangun, serta lahirnya beberapa RUU dan kebijakan mengenai penegakan syariat
Islam. Memang bukan persoalan yang sederhana, politik Islam tidak lebih dari
sebuah reposisi hubungan antara Negara
dan Agama. Masa transisi dalam kehidupan berkebangsaan begitu rumit dicari
format idealnya, politisi Islam berada diantara dilematik political and social repercussions (politik dan dampak sosial) dan
ini tentu memerlukan sebuah rekontruksi dalam menata sistem sosial serta
bagaimana politik Islam mampu teraplikasi dalam sejumlah kebijakan publik yang
dapat dirasakan bangsa dan negara.
Politik
Islam bukan sekadar efek transformasi politik timur tengah (dunia timur) yang
selama orde baru terbungkam tetapi refleksi ideal nilai-nilai luhur yang
semestinya menjadi pengejawantahan sifat-sifat ilahiyah dalam negara secara
holistik, menyeluruh dan berkeadilan sosial. Ini semua adalah PR besar bagi
politisi Islam dalam mewujudkan realitas politik secara adil, bukan saja kepada
umat Islam melainkan menjadi kearifan dan politik keadaban bagi seluruh warga
negara.
Deontologis
ini akan menjadi sebuah titik perenungan terhadap sebuah proses politik yang
masih sangat belia, perlu keteguhan dan keyakinan yang utuh yakni transformasi
nilai-nilai luhur menjadi landasan berpijak dalam pemikiran. Agama bukan lagi
komoditi politik yang dipasarkan menjelang pemilu, melainkan tata nilai dan
etika politik yang dibangun secara terintegritas, baik partai politik, politisi
dan masyarakat penentu atau konstituen.
Deontologis politik Islam menjadi
alat bukti dan antítesis publik terhadap prilaku dan ketidak siapan seperti
prilaku berikut ini :
Ø Kemerosotan adab politisi Islam, dengan mencuatnya
prilaku korup yang berasal dari partai-partai Islam
Ø Partai politik yang berazas Islam belum mampu menetapkan
azas Islam sebagai nilai luhur dalam berpolitik, tetapi masih berorientasi
komoditi politik berbasis Islam
Ø Partai-partai Islam kurang berperan sebagai penyeimbang
partai sekular, realita yang nampak parpol Islam berperan menjadi predator
kursi-kursi kekuasaan
Ø Lemah atau minimnya produk perundang-undangan yang
berazas Islam dan terpatahkannya beberapa kebijakan publik berbasis Islam
disetiap tingkatan pemerintahan
Ø Anhistoris antara politisi Islam dengan prilaku politik,
dua kutub yang bertentangan, sementara ia sebagai politisi Islam dari parpol
Islam tetapi nilai-nilai etika keislamannya bias dan kurang dapat
dipertanggungjawabkan
Deontologis politik Islam ahistoris dengan pendapat Ibnu Aqil
seperti yang dikutip Ibnu Qayyim, ia mendefinisikan bahwa politik Islam adalah: Siyasah
syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan
dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia
tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan
prinsip-prinsip umum syariah”.
Rekontruksi Pemikiran Politik Islam
Prinsip deontologist
ini sejatinya menjadi perenungan bagi kita, bagaimana membangun wacana politik
Islam dalam rekontruksi pemikiran yang berkesesuaian dengan realitas demokrasi
di Indonesia. Pasca reformasi terjadi perdebatan panjang mengenai pemikiran
Islam dalam konteks politik. Prinsip integrasi nilai-nilai Ilahiah secara
serius dan aplikatif dalam kebijakan public adalah salah satu prinsip dasar
dalam menjawab deontologist politik Islam yang selama ini masih bias.
Masa depan Negara
dengan segala karakteristik kepluralan, kemajemukan dan problematika
disintegrasi dan mencuatnya kelompok separatis yang tidak lepas dari konteks
politik nasional adalah tanggungjawab moral bagi politik Islam. Tentu bukan
sekadar wacana bahwa Islam dengan prinsip universalitas, sejatinya mampu
mewadahi setiap warna perbedaan di dalam Negara super majemuk ini. Konteks
politik dalam pemikiran pasca reformasi perlu dibangun menjadi sebuah paradigma
yang ideal, holistic, plural dan berlandas azas nilai ruhani.
Beberapa hal yang dapat
dijadikan acuan dalam arah paradigm merekonstruksi pemikiran politik Islam
melalui beberapa prinsip :
1. Prinsip
moral; holistisisme etika politik dan prilaku politisi
2. Prinsip
integrasi; nilai-nilai luhur dalam produk perundangan tanpa radikalisasi serta
menerapkan nilai-nilai humanistic Islam
3. Prinsip
pluralism; konsep pluralism tidak bisa dinafikan, Islam adalah konsep universal
yang menaungi setiap warna perbedaan. Islam bukan penyeragaman tetapi unity in universality
4. Prinsip
nilai; nilai-nilai etis dan keteladanan adalah landasan ideal politik yang
dibangun dengan pendekatan humanistik
5. Prinsip
pragmatis; prinsip kebermanfaatan secara adil, kebijakan public bukan semata
keberpihakan kepada umat Islam melainkan menciptakan peradaban yang etis bagi
seluruh bangsa Indonesia, tanpa mengkotak-kotakan
Politik Islam membangun peradaban etis yang berlandaskan nilai-nilai moral universal,
berkarakter khas Indonesia. Meskipun hal tersebut bukan pemikiran baru, perlu
kita merenungi setiap periode dimana Islam menjadi antithesis dalam kancah
politik nasional. Rekontruksi pemikiran, bukan harus meletakan dasar pemikiran
baru yang sama sekali berbeda, tetapi perenungan atas kekeliruan yang dicatat
sejarah telah gagalnya kontruksi politik Islam dalam membangun Negara.
Setiap problem dan penyimpangan-penyimpangan etis yang
dilakukan merupakan sebuah proses demokrasi dan
Islam berada didalamnya, turut membangun negeri, menciptakan peradaban
baru pasca orde baru. Kini saatnya rekonstruksi kita bangun berdasarkan
pengalaman-pengalaman empiris dalam proses demokrasi.
Dengan memperhatikan lima prinsip diatas Rekontruksi Pemikiran Politik Islam mencoba dibangun kembali dalam
sebuah wacana politik menuju idealitas sistem social dengan mengacu pada sebuah
model, yaitu Politik Etika dan Keadaban ; Rekontruksi Pemikiran Politik Islam dalam
Kontek Keindonesiaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar