Minggu, 03 April 2016

REKONTRUKSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Politik Etika dan Keadaban ; Rekontruksi Pemikiran Politik Islam dalam Konteks Keindonesiaan

Perdebatan pemikiran politik Islam di Indonesia belum hendak tuntas sejak bergulirnya reformasi. Kenyataannya adalah terdapatnya kubu yang berbeda dalam menggeneralisir pandangan politik Islam, bahwa Islam terpisah dari negara dan tidak memiliki sangkut paut dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan negara, sementara sisi lain pandangan bahwa Islam semestinya menjadi dasar ideologi negara dan syariat Islam masuk dalam konstitusi negara.
Perdebatan ini kemudian menemukan titik dimana nilai-nilai Islam secara substansi menjadi kerangka dasar nilai etika dan moral berbangsa dan bernegara.  Nilai-nilai Islam dan etis menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi pasca reformasi selaras dengan perkembangan politik Indonesia, penodaan pasca orde baru terkikis dengan sempurna. Deontologis demokrasi sebagai sistim pemerintahan di negara ini merupakan realitas entitas yang tidak dapat dielakan lagi.
Seiring berjalannya waktu, realitas alur pemikiran mengalami penyimpangan. Hal tersebut terlihat dari nihilnya indikasi transisi menuju demokrasi otentik (authentic democracy). Publik mulai mengalami pesimisme terhadap stabilitas politik yang semakin menunjukan kecenderungan yang akibatnya mempengaruhi laju perekonomian nasional yang terus menurun.
Stabilisasi politik nasional sangat krusial dalam mengelola negara. Bertentangan dengan hal itu  kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seolah trial and error dalam membuat sistem pemerintahan yang ideal dalam kultur negara yang plural dan majemuk. Stabilisasi politik beririsan dengan elit politik dimana setiap pemilu tidak melahirkan kebijakan yang etis dan berkeadaban. Kalangan Islam telah terjebak dalam mendefinisikan demokrasi kebebasan berdasarkan syari’at Islam. Elit-elit politisi Islam kurang siap dengan realitas pertempuran ideologi politik nasional, yang pada akhirnya sebuah statement Islam Yes Partai Islam No menjadi produk antítesis terhadap realitas entitas politik Islam yang baru saja lahir.
Deontologis Politik Islam; realitas transisi demokrasi
Deontologis sistem politik pasca reformasi dapat dilihat dari bermunculannya partai-partai politik berideologi Islam, suatu keniscayaan bahwa pemikiran Islam berkembang pesat dengan realitas terlepasnya sumbatan politik ciptaan orde baru. Tekanan politik seolah pudar dan arus demokrasi meluas hampir tiada kendali. Pada perkembangan berikutnya masa-masa kebebasan ini menjadi sebuah transisi dimana seleksi politik tetap berlaku.
Fragmentasi politik mulai melanda partai-partai politik. Semakin tajam dan krusial, aksi-aksi sosial yang menuju kerentanan konflik dan perpecahan bangsa bukan semata dikalangan elit politik semata tetapi melanda masyarakat secara signifikan. Berbagai segmen masyarakat mudah digelincirkan pada sikap a priori dan anarkis. Politik tidak mampu meredam isu disintegrasi bangsa dan kebebasan yang melewati batas kewajaran dan melenyapkan nilai-nilai etika berpolitik. Deontologis politik Islam menjadi bias dan tidak tercapainya kesepakatan makna nilai-nilai luhur dalam meletakan pondasi konstitusi negara.
Ambiguitas politik Islam terus berlangsung meskipun beberapa kebijakan publik mampu dibangun, serta lahirnya beberapa RUU dan kebijakan mengenai penegakan syariat Islam. Memang bukan persoalan yang sederhana, politik Islam tidak lebih dari sebuah reposisi hubungan antara Negara dan Agama. Masa transisi dalam kehidupan berkebangsaan begitu rumit dicari format idealnya, politisi Islam berada diantara dilematik political and social repercussions (politik dan dampak sosial) dan ini tentu memerlukan sebuah rekontruksi dalam menata sistem sosial serta bagaimana politik Islam mampu teraplikasi dalam sejumlah kebijakan publik yang dapat dirasakan bangsa dan negara.
Politik Islam bukan sekadar efek transformasi politik timur tengah (dunia timur) yang selama orde baru terbungkam tetapi refleksi ideal nilai-nilai luhur yang semestinya menjadi pengejawantahan sifat-sifat ilahiyah dalam negara secara holistik, menyeluruh dan berkeadilan sosial. Ini semua adalah PR besar bagi politisi Islam dalam mewujudkan realitas politik secara adil, bukan saja kepada umat Islam melainkan menjadi kearifan dan politik keadaban bagi seluruh warga negara.
Deontologis ini akan menjadi sebuah titik perenungan terhadap sebuah proses politik yang masih sangat belia, perlu keteguhan dan keyakinan yang utuh yakni transformasi nilai-nilai luhur menjadi landasan berpijak dalam pemikiran. Agama bukan lagi komoditi politik yang dipasarkan menjelang pemilu, melainkan tata nilai dan etika politik yang dibangun secara terintegritas, baik partai politik, politisi dan masyarakat penentu atau konstituen.
Deontologis  politik Islam menjadi alat bukti dan antítesis publik terhadap prilaku dan ketidak siapan seperti prilaku berikut ini : 
Ø  Kemerosotan adab politisi Islam, dengan mencuatnya prilaku korup yang berasal dari partai-partai Islam
Ø  Partai politik yang berazas Islam belum mampu menetapkan azas Islam sebagai nilai luhur dalam berpolitik, tetapi masih berorientasi komoditi politik berbasis Islam
Ø  Partai-partai Islam kurang berperan sebagai penyeimbang partai sekular, realita yang nampak parpol Islam berperan menjadi predator kursi-kursi kekuasaan
Ø  Lemah atau minimnya produk perundang-undangan yang berazas Islam dan terpatahkannya beberapa kebijakan publik berbasis Islam disetiap tingkatan pemerintahan
Ø  Anhistoris antara politisi Islam dengan prilaku politik, dua kutub yang bertentangan, sementara ia sebagai politisi Islam dari parpol Islam tetapi nilai-nilai etika keislamannya bias dan kurang dapat dipertanggungjawabkan

Deontologis politik Islam ahistoris dengan pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim, ia  mendefinisikan bahwa politik Islam adalah: Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.


Rekontruksi Pemikiran Politik Islam
Prinsip deontologist ini sejatinya menjadi perenungan bagi kita, bagaimana membangun wacana politik Islam dalam rekontruksi pemikiran yang berkesesuaian dengan realitas demokrasi di Indonesia. Pasca reformasi terjadi perdebatan panjang mengenai pemikiran Islam dalam konteks politik. Prinsip integrasi nilai-nilai Ilahiah secara serius dan aplikatif dalam kebijakan public adalah salah satu prinsip dasar dalam menjawab deontologist politik Islam yang selama ini masih bias.
Masa depan Negara dengan segala karakteristik kepluralan, kemajemukan dan problematika disintegrasi dan mencuatnya kelompok separatis yang tidak lepas dari konteks politik nasional adalah tanggungjawab moral bagi politik Islam. Tentu bukan sekadar wacana bahwa Islam dengan prinsip universalitas, sejatinya mampu mewadahi setiap warna perbedaan di dalam Negara super majemuk ini. Konteks politik dalam pemikiran pasca reformasi perlu dibangun menjadi sebuah paradigma yang ideal, holistic, plural dan berlandas azas nilai ruhani.  
Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam arah paradigm merekonstruksi pemikiran politik Islam melalui beberapa prinsip :
1.      Prinsip moral; holistisisme etika politik dan prilaku politisi
2.      Prinsip integrasi; nilai-nilai luhur dalam produk perundangan tanpa radikalisasi serta menerapkan nilai-nilai humanistic Islam
3.      Prinsip pluralism; konsep pluralism tidak bisa dinafikan, Islam adalah konsep universal yang menaungi setiap warna perbedaan. Islam bukan penyeragaman tetapi unity in universality
4.      Prinsip nilai; nilai-nilai etis dan keteladanan adalah landasan ideal politik yang dibangun dengan pendekatan humanistik
5.      Prinsip pragmatis; prinsip kebermanfaatan secara adil, kebijakan public bukan semata keberpihakan kepada umat Islam melainkan menciptakan peradaban yang etis bagi seluruh bangsa Indonesia, tanpa mengkotak-kotakan

            Politik Islam membangun peradaban etis yang  berlandaskan nilai-nilai moral universal, berkarakter khas Indonesia. Meskipun hal tersebut bukan pemikiran baru, perlu kita merenungi setiap periode dimana Islam menjadi antithesis dalam kancah politik nasional. Rekontruksi pemikiran, bukan harus meletakan dasar pemikiran baru yang sama sekali berbeda, tetapi perenungan atas kekeliruan yang dicatat sejarah telah gagalnya kontruksi politik Islam dalam membangun Negara.  
            Setiap problem dan penyimpangan-penyimpangan etis yang dilakukan merupakan sebuah proses demokrasi dan  Islam berada didalamnya, turut membangun negeri, menciptakan peradaban baru pasca orde baru. Kini saatnya rekonstruksi kita bangun berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris dalam proses demokrasi.

            Dengan memperhatikan lima prinsip diatas Rekontruksi Pemikiran Politik  Islam mencoba dibangun kembali dalam sebuah wacana politik menuju idealitas sistem social dengan mengacu pada sebuah model, yaitu Politik Etika dan Keadaban ; Rekontruksi Pemikiran Politik Islam dalam Kontek Keindonesiaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar