A.
Dasar
Filosofi
Ragam maka yang
digunakan dalam pembahasan politik dan perkembangannya pasca reformasi memang
selalu menarik terutama dalam tataran kajian-kajian teori politik. Seperangkat
toeri hipotesa mengenai suatu proses politik dalam membentuk institusi
–institusi pemerintahan yang dikaitkan
dengan prinsip-prinsip dasar moral social dan control prilaku politik. Suatu
realitas yang tidak pernah luput dari persoalan yang beragam dan penjelasan
yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.
Suatu proses politik
yang melahirkan kepemimpinan dan
menetapkan fungsi pemerintahan seringkali terjebak dengan problem anti tesis,
sebagai pembuat kebijakan politik dan juga menangani problem-problem sosio-politik.
Norma-norma yang mendasari kebijakan politik dan pertimbangan moral dan etis. Sebuah
pertanyaan mendasar dari sebuah perhelatan besar bernama “Pilkada Serentak”
adalah apa kebaikan-kebaikan yang mampu dicapai oleh Pemerintahan Daerah bagi
masyarakat melalui Pilkada?
Postulat-postulat yang
menciptakan social dan politik apakah mampu diikuti oleh masyarakat politik?
Hal ini tentu memaparkan tentang tujuan sebuah pemerintahan, justifikasi moral
dan kekuasaan politik. Bagaimana kekuatan politik dengan batas moral dan
nilai-nilai moral dapat diferivikasi secara empiric. Nilai-nilai filosofi
politik adalah tatanan dengan nilai etika sosial dan penekanan-penekanan
social.
Kesejatian yang sering
diabaikan adalah teori-teori politik bersebelahan dengan fakta-fakta politik
sehingga tatanan dan makna tidak berkaitan dengan tujuan. Padahal hipotesis
pilkada adalah membangun suatu pemerintahan daerah hasil dari investigasi
politik. Terkadang teori bahwa sebuah kekuasaan sekelompok elit hanya sebuah
fenomena pelembagaan pemerintahan hasil investigasi poitik.
Refleksi moral ini
sangat penting sebab fase ilmu politik sangat luas dan dinamis, setiap periode
tidak dapat digeneralisasi dengan teori-teori lama dalam konteks sejarah.
Prilaku politik memiliki imperative etik dan proposional, dan ini tidak dapat
dilepaskan dari perangkat-perangkat proposisi seperti tujuan penyelenggaraan
sistem politik dan prosedur (cara-cara institusional) yang menjamin kekuasaan
politik untuk kemaslahatan public.
B.
Tujuan Pilkada dan Penguatan Demokrasi
Tujuan sebuah
pemerintahan adalah menciptakan lingkungan social dan cultural, didalamnya setiap individu memiliki sarana material dan
pendidikan untuk memaksimalkan potensi-potensi pribadinya. Kondisi factual
individu-individu dalam masyarakat sejatinya ia berada pada tingkat ukuran
terperhatikan dan ideal. Entitas politik bernilai representative dengan ide-ide
terwujudnya masyarakat ideal.
Sistem yang berbeda
sama sekali dengan pemilihan kolektif kolegial melalui perwakilan DPRD
semestinya menunjukan perkembangan historis yang lebih baik. Pemilihan serentak
menepis isu sentral kepemimpinan nasional dan meluputkan persoalan lain, dan
pola demokrasi hangat sebagai sistem yang ideal dalam mengenali calon pemimpin
daerah semestinya mampu memicu kekuatan demokrasi. Pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah
dengan perantaraan wakilnya. Demokrasi terkonsolidasi dengan cepat dengan
melibatkan partisipasi aktif public dalam memilih kepala pemerintahan dan
pilihan yang sesuai dengan harapan rakyat. Setiap partisipan memilih langsung
baik berdasarkan pilihan obyektif maupun pilihan subyektif terhadap calon
pemimpin.
Pandangan ini merupakan
gagasan hidup demokrasi yang boleh jadi menguntngkan pada proses politik dan
perkembangan pemerintahan rakyat, tetapi boleh juga pilihan jatuh pada pemimpin
yang kurang ideal dalam memimpin. Pilihan langsung ini mampu membuat percepatan
konsolidasi demokrasi berjalan optimal dengan prosedur dan ketetapan model
pemilihan berdasarkan pada kebijakan public. Demokrasi langsung merupakan pandangan
hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama
bagi semua warga Negara.
Partisipasi aktif dalam
menentukan pilihan memiliki tingkat subyektifitas tinggi dalam memilih calon
pasangan pemimpin daerah yang sesuai dengan kultur historis masing-masing
daerah. Hal ini tentu mengesampingkan isu-isu nasional. Konsentrasi pada isu
daerah sebagai sarana percepatan pembangunan ideal mampu dicapai oleh masing-masing
pemimpin daerah. Corak kepemimpinan daerah adalah pilihan yang menarik dalam
sosio-politik dengan ukuran kebenaran yang relative.
Kesesuaian ide sebagai
agen moral yang bebas dan menunjukan eksistensi keberaturan dalam kehidupan
politik yang merupakan formula berupaya menempatkan tujuan-ujuan moral dalam
pembangunan yang holistic. Adalah persoalan-persoalan etik yang diharapkan oleh
para partisipasi aktif dalam implikasi imperative pemimpin daerah dalam
pembangunan manusia selanjutnya. Kenyataan empiric tentunya merupakan sebuah
penagihan janji atas sebuah kekuatan kehidupan demokrasi.
Tujuan pilkada serentak berlandaskan
pada asas efisiensi penggunaan dana pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh KPU
bahwa dilaksanakannya pemilukada serentak adalah
terciptanya efektivitas dan efisiensi. Dengan asumsi pemilihan
gubernur, bupati, walikota yang dilaksanakan bersamaan akan menghemat angaran
pelaksanaan. Benarkah demikian?
C.
Realitas
dalam Perspektif Sosial
Realitas social tidak
dapat dikesampingkan, bahwa hasil pilkada tidak dapat digeneralisasi, bahwa
pemimpin daerah yang dihasilkan melalui perhelatan mahal demokrasi langsung
mampu merefleksikan cita-cita. Kompleksitas pilkada terlihat dengan tingginya
kasus sengketa pilkada menunjukan bahwa imperative etik sebuah demokrasi belum
tercapai dengan baik.
Persoalan klasik bahwa
sebuah demokrasi memerlukan perangkat-perangkat dan motivasi etik dalam tahap
pelaksanaan teknis masih belum dapat diaplikasikan dengan baik. Problematika
kesiapan sumber daya manusia dalam pelaksanaan dan prosedur umum sebuah
demokrasi memerlukan kajian yang mendalam agar etika social pemilu dapat
teraplikasi sesuai dengan kultur historis suatu masyarakat yang memerlukan
tatanan nilai.
Pelajaran yang sangat
berharga dalam kasus-kasus pilkada adalah pelembagaan penyelenggaraan pemilu
yang belum sepenuhnya menggunakan landasan norma dan etika politik. Hal ini
tentu bukan hanya terletak pada penyelenggaraan dan penyelenggara pilkada
semata, namun kesiapan moral dan mental para partisipan sangat penting,
terutama dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan nilai obyektifitas calon
yang akan dipilih.
Nilai-nilai etika dalam
menentukan pilihan calon pemimpin daerah yang mampu diaplikasikan akan besar
menekan pada penyimpangan-penyimpangan etika berpolitik. Tentunya sikap partisipasi
aktif menentukan kualitas hasil pilkada dan berefek pada kualitas pemimpin
daerah yang terpilih. Demokrasi yang dengan kuat terkonsolidasi melalui pilkada
akan dapat terefleksikan dengan positif, yakni menempuh batas terendah penyimpangan
dalam hasil pilkada.
Fenomena yang mencuat
kepermukaan dalam proses demokrasi ini adalah kemunculan figure-figur popular
sebagai pemipin daerah, meski bukan suatu hal yang merusak pada pembangunan
daerah tetapi pengenyampingan calon-calon berkualitas dan terbaik namun kurang
kompetitif dalam sebuah pertarungan politik menjadi poblematika tersendiri
dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi.
Beberapa permasalahan
yang muncul dalam proses demokrasi pemilihan langsung pilkada serentak dapat
dilihat :
1. Tingginya
sengketa pilkada, baik yang bersumber dari penyimpangan demokrasi maupun
kecurigaan kelalaian penyelenggaraan pilkada
2. Kurang
kuatnya isu-isu sentral kepemimpinan dan calon-calon kompetitif di daerah
3. Calon
pemimpin popular mampu menarik partisipan yang mengenyampingkan kualitas
inteletual berbasis kedaerahan
4. Kurang
menyentuh aspek sosio-kultur daerah sebagai basis pembangunan daerah
5. Kuantitas
pemenangan calon kepala daerah menjadi keutamaan bagi partai politik
dibandingkan dengan isu lainnya
6. Realitas
pilkada serentak tidak tercapai, disebabkan perangkat penyelenggaraan pilkada
oleh KPUD tidak mampu dilaksanakan
7. Prinsip
efektif dan efisien dalam pilkada tidak tercapai, hal ini terbukti dengan
membengkaknya anggaran pilkada
8. Penyeragaman
anggaran pilkada tidak dapat dilakukan mengingat kondisi geografis
masing-masing daerah berbeda-beda
9. Kurangnya
persiapan pihak penyelenggara pilkada
D.
Kajian
Pilkada; Sebuah Perbaikan Masa Depan Demokrasi
Fenomena politik
menunjukan adanya gejala-gejala kemandulan disiplin akademis secara
intelektual. Keasyikan pada kajian historis sistem demokrasi melupakan
teori-teori etis dan melunturkan kebenaran dalam kritisisme, anaisa
persoalan-persoalan moral sebagai kebijakan pubik yang seringkali menjadi basi
dan dikeluarkan dari obyek-obek politik. Persoalan politik tidak dapat lepas
dari dimensi moral dalam sebuah penelitian empiris.
Refleksi mengenai
pilkada yang fenomenal serempak 2015 tidak perlu melupakan teori kausalitas
demokrasi. Penghilangan makna-makna social perlahan melepaskan kesesuaian
sistem kepemimpinan daerah yang pada dasarnya adalah agen-agen moral public
dalam eksistens kehidupan politik.
Beberapa prinsip
demokrasi yang hendak dicapai dalam perbaikan pilkada kedepan;
1. Asas
pemilu yang demokratik (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
2. Hak
bebas mengakses informasi calon pemimpin daerahnya;
3. Integritas;
akurat, transparansi dan akuntabel; pemilih dan calon kepala daerah yang akan
dipilih clear dari masalah hokum
4. Demokrasi
harus memiliki kepastian hokum; tidak ada kontradiksi antar ketentuan pemilu
sepert perbedaan definisi pemilih dalam perundang undangan
5. Penyelenggara
pemilu yang independen
6. Partisipan
tidak berada dalam tekanan politik tertentu
7. Efektif
dan efisien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar