Minggu, 03 April 2016

REFLEKSI PILKADA SERENTAK 2015 BAGI PERCEPATAN KONSOLIDASI DEMOKRASI


A.    Dasar Filosofi   
Ragam maka yang digunakan dalam pembahasan politik dan perkembangannya pasca reformasi memang selalu menarik terutama dalam tataran kajian-kajian teori politik. Seperangkat toeri hipotesa mengenai suatu proses politik dalam membentuk institusi –institusi pemerintahan  yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip dasar moral social dan control prilaku politik. Suatu realitas yang tidak pernah luput dari persoalan yang beragam dan penjelasan yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.
Suatu proses politik yang melahirkan kepemimpinan  dan menetapkan fungsi pemerintahan seringkali terjebak dengan problem anti tesis, sebagai pembuat kebijakan politik dan  juga menangani problem-problem sosio-politik. Norma-norma yang mendasari kebijakan politik dan pertimbangan moral dan etis. Sebuah pertanyaan mendasar dari sebuah perhelatan besar bernama “Pilkada Serentak” adalah apa kebaikan-kebaikan yang mampu dicapai oleh Pemerintahan Daerah bagi masyarakat melalui Pilkada?
Postulat-postulat yang menciptakan social dan politik apakah mampu diikuti oleh masyarakat politik? Hal ini tentu memaparkan tentang tujuan sebuah pemerintahan, justifikasi moral dan kekuasaan politik. Bagaimana kekuatan politik dengan batas moral dan nilai-nilai moral dapat diferivikasi secara empiric. Nilai-nilai filosofi politik adalah tatanan dengan nilai etika sosial dan penekanan-penekanan social.
Kesejatian yang sering diabaikan adalah teori-teori politik bersebelahan dengan fakta-fakta politik sehingga tatanan dan makna tidak berkaitan dengan tujuan. Padahal hipotesis pilkada adalah membangun suatu pemerintahan daerah hasil dari investigasi politik. Terkadang teori bahwa sebuah kekuasaan sekelompok elit hanya sebuah fenomena pelembagaan pemerintahan hasil investigasi poitik.
Refleksi moral ini sangat penting sebab fase ilmu politik sangat luas dan dinamis, setiap periode tidak dapat digeneralisasi dengan teori-teori lama dalam konteks sejarah. Prilaku politik memiliki imperative etik dan proposional, dan ini tidak dapat dilepaskan dari perangkat-perangkat proposisi seperti tujuan penyelenggaraan sistem politik dan prosedur (cara-cara institusional) yang menjamin kekuasaan politik untuk kemaslahatan public.     

B.     Tujuan  Pilkada dan Penguatan Demokrasi
Tujuan sebuah pemerintahan adalah menciptakan lingkungan social dan cultural, didalamnya  setiap individu memiliki sarana material dan pendidikan untuk memaksimalkan potensi-potensi pribadinya. Kondisi factual individu-individu dalam masyarakat sejatinya ia berada pada tingkat ukuran terperhatikan dan ideal. Entitas politik bernilai representative dengan ide-ide terwujudnya masyarakat ideal.
Sistem yang berbeda sama sekali dengan pemilihan kolektif kolegial melalui perwakilan DPRD semestinya menunjukan perkembangan historis yang lebih baik. Pemilihan serentak menepis isu sentral kepemimpinan nasional dan meluputkan persoalan lain, dan pola demokrasi hangat sebagai sistem yang ideal dalam mengenali calon pemimpin daerah semestinya mampu memicu kekuatan demokrasi. Pemerintahan  yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Demokrasi terkonsolidasi dengan cepat dengan melibatkan partisipasi aktif public dalam memilih kepala pemerintahan dan pilihan yang sesuai dengan harapan rakyat. Setiap partisipan memilih langsung baik berdasarkan pilihan obyektif maupun pilihan subyektif terhadap calon pemimpin.
Pandangan ini merupakan gagasan hidup demokrasi yang boleh jadi menguntngkan pada proses politik dan perkembangan pemerintahan rakyat, tetapi boleh juga pilihan jatuh pada pemimpin yang kurang ideal dalam memimpin. Pilihan langsung ini mampu membuat percepatan konsolidasi demokrasi berjalan optimal dengan prosedur dan ketetapan model pemilihan berdasarkan pada kebijakan public. Demokrasi langsung merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Partisipasi aktif dalam menentukan pilihan memiliki tingkat subyektifitas tinggi dalam memilih calon pasangan pemimpin daerah yang sesuai dengan kultur historis masing-masing daerah. Hal ini tentu mengesampingkan isu-isu nasional. Konsentrasi pada isu daerah sebagai sarana percepatan pembangunan ideal mampu dicapai oleh masing-masing pemimpin daerah. Corak kepemimpinan daerah adalah pilihan yang menarik dalam sosio-politik dengan ukuran kebenaran yang relative.  
Kesesuaian ide sebagai agen moral yang bebas dan menunjukan eksistensi keberaturan dalam kehidupan politik yang merupakan formula berupaya menempatkan tujuan-ujuan moral dalam pembangunan yang holistic. Adalah persoalan-persoalan etik yang diharapkan oleh para partisipasi aktif dalam implikasi imperative pemimpin daerah dalam pembangunan manusia selanjutnya. Kenyataan empiric tentunya merupakan sebuah penagihan janji atas sebuah kekuatan kehidupan demokrasi.
Tujuan pilkada serentak berlandaskan pada asas efisiensi penggunaan dana pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh KPU bahwa dilaksanakannya pemilukada serentak adalah terciptanya efektivitas dan efisiensi. Dengan asumsi pemilihan gubernur, bupati, walikota yang dilaksanakan bersamaan akan menghemat angaran pelaksanaan. Benarkah demikian?
C.    Realitas dalam Perspektif Sosial
Realitas social tidak dapat dikesampingkan, bahwa hasil pilkada tidak dapat digeneralisasi, bahwa pemimpin daerah yang dihasilkan melalui perhelatan mahal demokrasi langsung mampu merefleksikan cita-cita. Kompleksitas pilkada terlihat dengan tingginya kasus sengketa pilkada menunjukan bahwa imperative etik sebuah demokrasi belum tercapai dengan baik.
Persoalan klasik bahwa sebuah demokrasi memerlukan perangkat-perangkat dan motivasi etik dalam tahap pelaksanaan teknis masih belum dapat diaplikasikan dengan baik. Problematika kesiapan sumber daya manusia dalam pelaksanaan dan prosedur umum sebuah demokrasi memerlukan kajian yang mendalam agar etika social pemilu dapat teraplikasi sesuai dengan kultur historis suatu masyarakat yang memerlukan tatanan nilai.  
Pelajaran yang sangat berharga dalam kasus-kasus pilkada adalah pelembagaan penyelenggaraan pemilu yang belum sepenuhnya menggunakan landasan norma dan etika politik. Hal ini tentu bukan hanya terletak pada penyelenggaraan dan penyelenggara pilkada semata, namun kesiapan moral dan mental para partisipan sangat penting, terutama dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan nilai obyektifitas calon yang akan dipilih.
Nilai-nilai etika dalam menentukan pilihan calon pemimpin daerah yang mampu diaplikasikan akan besar menekan pada penyimpangan-penyimpangan etika berpolitik. Tentunya sikap partisipasi aktif menentukan kualitas hasil pilkada dan berefek pada kualitas pemimpin daerah yang terpilih. Demokrasi yang dengan kuat terkonsolidasi melalui pilkada akan dapat terefleksikan dengan positif, yakni menempuh batas terendah penyimpangan dalam hasil pilkada.
Fenomena yang mencuat kepermukaan dalam proses demokrasi ini adalah kemunculan figure-figur popular sebagai pemipin daerah, meski bukan suatu hal yang merusak pada pembangunan daerah tetapi pengenyampingan calon-calon berkualitas dan terbaik namun kurang kompetitif dalam sebuah pertarungan politik menjadi poblematika tersendiri dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi.
Beberapa permasalahan yang muncul dalam proses demokrasi pemilihan langsung pilkada serentak dapat dilihat :
1.      Tingginya sengketa pilkada, baik yang bersumber dari penyimpangan demokrasi maupun kecurigaan kelalaian penyelenggaraan pilkada
2.      Kurang kuatnya isu-isu sentral kepemimpinan dan calon-calon kompetitif di daerah   
3.      Calon pemimpin popular mampu menarik partisipan yang mengenyampingkan kualitas inteletual berbasis kedaerahan
4.      Kurang menyentuh aspek sosio-kultur daerah sebagai basis pembangunan daerah
5.      Kuantitas pemenangan calon kepala daerah menjadi keutamaan bagi partai politik dibandingkan dengan isu lainnya
6.      Realitas pilkada serentak tidak tercapai, disebabkan perangkat penyelenggaraan pilkada oleh KPUD tidak mampu dilaksanakan
7.      Prinsip efektif dan efisien dalam pilkada tidak tercapai, hal ini terbukti dengan membengkaknya anggaran pilkada
8.      Penyeragaman anggaran pilkada tidak dapat dilakukan mengingat kondisi geografis masing-masing daerah berbeda-beda
9.      Kurangnya persiapan pihak penyelenggara pilkada       
 
D.    Kajian Pilkada; Sebuah Perbaikan Masa Depan Demokrasi
Fenomena politik menunjukan adanya gejala-gejala kemandulan disiplin akademis secara intelektual. Keasyikan pada kajian historis sistem demokrasi melupakan teori-teori etis dan melunturkan kebenaran dalam kritisisme, anaisa persoalan-persoalan moral sebagai kebijakan pubik yang seringkali menjadi basi dan dikeluarkan dari obyek-obek politik. Persoalan politik tidak dapat lepas dari dimensi moral dalam sebuah penelitian empiris.
Refleksi mengenai pilkada yang fenomenal serempak 2015 tidak perlu melupakan teori kausalitas demokrasi. Penghilangan makna-makna social perlahan melepaskan kesesuaian sistem kepemimpinan daerah yang pada dasarnya adalah agen-agen moral public dalam eksistens kehidupan politik.  
Beberapa prinsip demokrasi yang hendak dicapai dalam perbaikan pilkada kedepan;
1.      Asas pemilu yang demokratik (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
2.      Hak bebas mengakses informasi calon pemimpin daerahnya;
3.      Integritas; akurat, transparansi dan akuntabel; pemilih dan calon kepala daerah yang akan dipilih clear dari masalah hokum
4.      Demokrasi harus memiliki kepastian hokum; tidak ada kontradiksi antar ketentuan pemilu sepert perbedaan definisi pemilih dalam perundang undangan
5.      Penyelenggara pemilu yang independen
6.      Partisipan tidak berada dalam tekanan politik tertentu

7.      Efektif dan efisien 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar