Minggu, 03 April 2016

Dialektis Social

           
Entah harus darimana memulai tulisan ini. Berkelindan dan gerak memutar tiada berhenti inti permasalahan yang nyaris tidak begitu jelas. Berbagai diskusi digelar tiada berkesudah, namun menguap tanpa mampu dibendung. Entah kemana larinya hasil dan simpulan diskusi dari meja ke meja. Berbagai tema diskusi digelar dengan hebanya, namun entah seperti apa proses pengejawantahan ilmu pengetahuan sehingga masyarakat tidak merasakan efek domino dari berkembangnya ilmu pengetahuan.
Ada pertanyaan yang sangat mendasar mengenai pengembangan ilmu pengetahuan yang disebut-sebut dengan megahnya oleh para intelektual. Pengembangan secara tertulis di atas kertas dengan angka-angka atau huruf-huruf namun dalam roda perkembangan di dalam sosial masyarakat seolah tidak menemukan titik terang, kebuntuan yang menyelimuti setiap gerak.   
Setiap bidang dapat diamati dengan seksama, ekonomi dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, pelayanan public, pertanian dan peternakan, media cetak dan jurnalistik bahkan informasi media elektronik tidaklah beranjak dari ketidak berdayaannya. Seolah system sosial mengalami stagnansi bahkan mengalam kemunduran jauh beberapa langkah ke belakang setelah apa yang dicapai selama ini.
Kemunduran secara ekonomi kasat mata dapat diamati dalam situasi lingkungan dan hangatnya media menyoroti problematika ekonomi dari hari ke hari. Berita diturunkan secara simpang siur bak sebuah puzzle yang berupa kepingan bentuk-bentuk tertentu. Kelangkaan produksi, sulitnya pencari kerja bukan saja karena dunia industry tidak bertumbuh atau bahkan gulung tikar, melainkan tenaga terampil yang teramat sulit didapatkan. Tenaga-tenaga pencari kerja tidak dibekali dengan keterampilan dan kecakapan vokasional, melainkan tenaga buruh kasar. Para buruh kasar kerja serabutan tidak mengenal jenjang pendidikan formal, yang berpendidikan atau lulusan pendidikan formal tidak mampu bekerja dengan basis dasar tenaga terampil. Demikian pula yang tidak sekolah, tidak mampu memiliki keterampilan yang mampu menempatkan dirinya menjadi seorang karyawan.
Persoalan tersebut tidak hanya terpaku pada persoalan kecil dan parsial semata. Di perkotaan dan di perdesaan ekonomi tidak tumbuh dengan merata. Kemampuan sosial penduduk tidak mampu digiring dengan paksa dengan istilah percepatan ekonomi yang seringkali digembar-gemborkan oleh beberapa kementrian yang menaungi pertumbuhsn ekonomi nasional.  Persoalan-persoalan particular seperti kemiskinan, kemerosotan ekonomi, kurangnya tenaga terampil serta  persoalan hulu-hilir yang saling berkelindan menjadi persoalan rumit tidak mampu dicarikan solusi pemecahannya secara bijak dan cepat.
Istilah ekonomi kreatif yang disebut-sebut untuk menyiapkan MEA sejauh ini belum menunjukan arah yang menggembirakan. Masyarakat menunggu berbagai kebijakan dan bersiap melaksanakan setiap kebijakan yang katanya demi mengupayakan pertumbuhan ekonomi sebagai dasar pemenuhan hajat hidup untuk dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Namun berita demi berita yang disampaikan rupanya masih berupa angin surga. Betapa sulitnya membangun sebuah usaha berbasis kekuatan ekonomi, sangat rumit dan memerlukan tenaga yang ektra kuat, baik secara fisik maupun mental.
Persoalan ekonomi tidaklah semata-mata berada di bidang perdagangan dan keterampilan para pelakunya, yang sangat bergantung pada kemampuan penguasaan ekonomi mikro dan makro. Namun setiap hal yang berkegiatan dapat dipastikan memiliki hubungan yang langsung maupun tidak langsung dengan pertumbuhan sector ekonomi. Ekonomi adalah dasar kehidupan setiap individu. Ketika individu-individu tidak mampu bergerak dalam bidang ini, problematika sosial akan menjadi sasaran permasalahan dan persoalan berikutnya. Sektor-sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan, pelayanan public, dan bidang-bidang lain berkorelasi dengan permasalahan ekonomi secara utuh. Ekonomi memacu gerakan sosial politik, ekonomi memacu pertumbuhan ilmu pengetahuan, ekonomi menggiring pada ketentraman, ekonomi membawa pada perubahan-perubahan secara sosial dan politik. Dalam kondisi normal, posisi penting perekonomian baik bagi individu-individu maupun masyarakat menjadi pemantik damai tidaknya sebuah system sosial.
Logika terbalik dan doktrin sesat
Kondisi terbalik dapat kita amati pada mekanisme system yang kini keberlakuannya sangat dipaksakan para alim penguasa. Lihat saja konsep pendidikan yang terlalu melangit, pendidikan memiliki tujuan mencerdaskan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi  pekerti yang luhur, memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Logikanya, bagaimana mencapai tujuan tersebut dengan anggaran pendidikan yang minim, belum lagi minimnya anggaran yang dikorupsi oleh oknum-oknum dari setiap masing-masing tingkatan mulai dari kementrian pusat sampai tingkat satuan pendidikan? Lalu bagaimana SDM berupa tenaga pendidik dan kependidikan yang rendah? Bagaimana para tenaga pendidik tersebut mampu mengejawantahkan tujuan pendidikan yang super hebat dengan perangkat dan komponen pendidikan yang sangat terbatas? Bagaimana system pendidikan yang teramat simpang siur dan bongkar pasang diterapkan pada tingkat pelaksana teknis pada satuan tingkat pendidikan? Bagaimana para pejuang pendidikan mampu berperang di medan laga ketika mereka tidak dibekali amunisi yang cukup, meski hanya sekedar menjaga kebugaran fisik dalam menjalankan tugasnya? Lalu bagaimana status bagi para pejuang pendidikan tersebut ketika system tidak memberikan pengakuan status kepada mereka, berupa SK pengangkatan Guru dan Dosen, atau tenaga kependidikan? Apa yang harus dilakukan para pejuang pendidikan ketika mereka diintimidasi dengan peraturan tidak boleh keras dalam mengajar, harus memberikan kebebasan kepada para siswa, memperketat peraturan sekolah bagi pelajar, ketetapan yang mengikat namun merugikan bagi guru dan siswa dalam pelaksanaan proses belajar, serta kesibukan administrative yang melimpah sehingga menguras tenaga dan fikiran sehingga berakibat lalai terhadap para siswa.
Para pendidik dan tenaga kependidikan seperti obyek dungu yang mudahnya dipermainkan dengan payung hukum yang tidak berpihak pada mereka. Aturan yang dibuat bak ketoprak humor dan doktrin sesat berkepanjangan. Tengok saja persyaratan administrasi yang meribet terkait dengan upah baik status PNS atau sertifikasi. Aturan yang gampang berubah serta ketidakjelasan. Kurikulum seperti sampah dan tumpang tindih satu dengan lainnya serta doktrin sesat semacam ideology, berupa nasihat dan kampanye perjuangan berupa istilah ibadah bagi para pejuang sebagai hiburan dan pengalihan atas tunturan hak bagi mereka.
Semua persoalan itu saling berkait, membuat kelindan tiada henti, ditambah campur tangan para lintah penghisap berupa oknum yang memanfaatkan rendahnya SDM para pelaksana pendidikan, baik mereka berasal dari instansi terkait ataupun berasal dari instansi gurem.
Persoalan ini seperti benang kusut, tidak ada tindakan penyelesaian yang mampu menghentikan atau bahkan hanya meminimalisir persoalan lainnya. Seperti sebuah candu, solusi diberikan demi menyelesaikan problematika pendidikan, namun sisi lain menambah atau bahkan membuat persoalan baru di sisi yang lain. Ibarat sebuah pakaian terlalu banyak tambal sulam di setiap bagiannya. Sehingga rencana hebat yang diungkapkan dalam tujuan super hebat dalam sebuah undang undang, hanya menghasilkan sebuah pakaian yang compang camping. Penuh tambalan disana sini, buruk rupa dan nyaris tidak dapat digunakan di setiap moment.
Analogi gagalnya pendidikan yang diibaratkan seperti sebuah pakaian yang compang camping, dapat kita amati pada produktifitas lulusan pendidikan formal. Berapa banyakah para lulusan sekolah yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang penuh dengan integritas, kejujuran, keyakinan dan rasa percaya diri, mampu bersaing dan kompetitif dalam mencapai prestasi, mampu menunjukan akhlak yang mulia serta bertanggungjawab sebagai seorang pembelajar?     
Kita dapat dengan mudahnya mengamati dan mengobservasi siswa-siswa dan mahasiswa yang kurang serius dalam proses belajar, praktek instanisasi belajar berupa copy paste atau goggling, ketidakmampuan menggunakan media teknologi sebagai produk bebas nilai, alias salah kaprah penggunaan media dan teknologi. Atau betapa mudahnya lulus menjadi sarjana, baik kualitas pendidikan maupun kuantitas proses belajar mengajar.
Dunia industry dan dunia usaha tidak mampu menyerap lulusan baik sarjana atau non sarjana. Sehingga jumlah pencari kerja dan angka pengangguran usia produktif semakin meningkat dari tahun ke tahun. Para sarjana banting setir menjadi buruh kasar, pekerja non formal serta sebagiannya lagi bekerja tidak sesuai dengan konsentrasi pendidikan yang ditempuh. Dunia industry hanya memberi ruang sempit berupa tenaga teknis dan bukan pada posisi tenaga ahli. Kalaupun berhasil memasuki dunia usaha dan memperoleh jabatan strategis hanya mampu menempati posisi menengah, sedang posisi strategis penting dalam menentukan arah kebijakan perusahaan hingga pemegang saham dikuasai lulusan asing, bahkan orang asing. Dan gilanya mereka cukup bangga menempati posisi tengah dan menjadi budak asing, yang setiap kebijakan usaha seringkali melawan ketetapan pemerintah. Ibarat kata, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, berupa hak yang sebesar-besarnya atas keuntungan yang diperoleh dalam usaha bahkan kalau bisa tidak membayar sekalipun jatah untuk Negara ini, sementara penetapan upah yang rendah bagi anak negeri, sementara penghormatan yang setinggi-tingginya bagi asing yang notabene tamu di negeri sendiri. Dan hal ini dimuluskan dengan kebijakan-kebijakan keliru dan tidak berpihak, yang tidak lain dan tidak bukan sangat rendahnya SDM kita. Sehingga tidak masuk pada zona berganing malah malah menjadi kuli dirumah sendiri. Tengok saja pada setiap kantor-kantor perusahaan asing, mulai menejer menengah, staf hingga OB diisi anak-anak negeri, sementara menejer tengah hingga dewan direksi dan pemegang saham adalah orang-orang asing.
Hinakah pemerintah menyaksikan kenyataan itu? Pertanyaan yang tabu dilontarkan para pengkritik kepada pemerintah yang gagal melindungi rakyat dari kebodohan melalui system pendidikan. Mana mungkin pakaian yang compang camping dapat dipakai dalam sebuah pesta? Jika ada yang berani memakainya maka pastilah dianggap sebagai pengemis kotor, yang hanya akan mengotori suasana pesta. Si pemakai pakaian butut yang compang camping tentu saja akan merasa minder dan tidak mungkin masuk dalam pesta yang di gelar. Dia tidak akan berani bergabung, kecuali hanya orang gila saja yang dengan keluguannya memunguti sisa-sia makanan dari piring kotor bekas mereka.
Kesadaran diri akan pakaiannya yang compang camping tersebut, akan membuat sikap defensive dan keluar dari lingkaran. Dia tidak akan memaksakan diri bergaul dan bergabung dengan para peserta pesta tersebut.  Sehebat-hebatnya ia akan merapihkan pakaian compang camping tersebut sebisa mungkin agar layak di pakai. Dengan sedikit bekal, ia kan merapikan pakaiannya setidaknya agak pantas dikenakan.
Nah, itulah sebuah kesadaran seseorang yang dibesarkan oleh system pendidikan yang tidak jelas, antara rencana dan pola yang ditetapkan. Sehingga berusaha sekuat tenaga agar dapat masuk dalam arena pesta, agar dapat mengambil bagian meskipun bagian yang sangat kecil. Tetapi lebih besar dari itu mereka terlempar dari arena pesta dan keluar dari lingkaran. Demi untuk sekedar bertahan hidup, bekerjalah ia serabutan dan tidak memilik kejelasan masa depan.
Pesta, ibarat arena perekonomian yang memiliki syarat-syarat yang kompetitif dan kelayakan di dalamnya. Barang siapa yang memiliki pakaian yang terindah maka ia akan menjadi ratu di dalam pesta tersebut. Pakaian yang bukan hanya indah tetapi juga berkualitas dan berkelas. Pesta, yang digelar di negeri ini tidak mampu diikuti anak negeri yang menggunakan pakaian compang camping. Mereka yang memiiki kesempatan belajar ke luar negeri, bisa mendapatkan kesempatan berlaga dipesta tersebut. Namun bagi yang tidak mampu dalam sisi materi tentunya tidak mungkin dapat memiliki pakaian dari luar negeri. Dan ia akan membeli dan memakai pakaian pendidikan dalam negeri yang buruk rupa dan tidak layak pakai.
Analogi itu dapat kita saksikan setelah sekian puluh tahun mengamati system pendidikan yang setiap periode pergantian menteri bukan bertambah lebih baik melainkan lebih buruk. Mengapa? Tidak ada satu menteripun yang mampu membuat pola pakaian dengan tepat sesuai adat budaya, tradisi, cita rasa, aroma serta autentisitas negeri ini menjadi dasar pilosofis, dasar pemikiran yang dijadikan landasan dari pembuatan pola serta mencari perangkat dan komponen-komponen yang tepat dalam menyelesaikan pola. Mendesain system yang disesuaikan dengan aroma dan cita rasa dan karakte bangsa. Tentunya seperti sebuah pabrik konveksi, di setiap bagiannya ada pelaksana teknis dan pengontrol, dikerjakan bersama dengan kompak dan para pengontrol masing-masing bagian bekerja sama agar hasil dari masing-masing bagian dapat digabungkan sati dengan yang lainnya. Misalnya bagian penjahit lengan, mesti kompak denga kerjasama yang apik dengan para pengontrol penjahit bagian tubuh dan kerah, baik yang bagian kanan ataupun kiri. Para pengontrol mengawasi hasil jahitan masing-masing bagian agar rapi dan tidak mengalami kesalahan patal. Setiap bagian yang sudah dijahit dan disatukan dengan masing-masing bagian yang lain agar menjadi sebuah produk berupa pakaian yang sesuai dengan pola.
Kesesuaian dikontrol dengan kualitas yang sudah dideteksi bidikan dan sasaran jual dan pemasarannya. Jika produk pakaian itu baik model dan kualitas yang dipasarkan tersebut mampu bersaing dengan produk-produk lainnya yang sejenis dengan berbagai keunggulan, baik keunggulan berupa model maupun kualitas, maka produk tersebut tentunya tidak akan kalah bersaing dengan produsen lainnya. 
Analogi itu tentunya mudah dipahami bukan? Bukti dari kegagalan pemerintah dalam memberikan harga diri berupa pakaian yang layak dipakai atau bersaing di kancah perekonomian dapat kita lihat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia yang terdidik dan terampil. Sehingga banyak yang berguguran dalam kompetisi membangun usaha secara formal dan elit. Tersingkir dari kompetisi ekonomi secara nasional, tentunya sudah barang tentu tidak akan masuk pada kancah internasional. Meskipun lahi bentuk-bentk pendidikan non formal tidak ubahnya sebagai bentuk pelarian atas kegagalan dalam kancah kompetisi yang sesungguhnya. Paa sarjana banting setir atau balik arah membuat kreatifitas ang sebenarnya tidak keatif atau bahkan dapat disebut sebagai bentuk protes kasar terhadap kebijakan makro.
Harapan demi harapan bertumpuk pada menteri pendidikan pada setiap pergantian pemerintah hasil pemilu agar mampu membuat pola baru dalam dunia pembentuk sumber daya manusia sebagaimana amanah unang-undang dasar 45, namun tak urung harapan musnah terbawa angin dan isu perubahan yang melangit tanpa dasar. Permasalahan demi permasalahan berputar tiada henti, pasang-rombak tidak menyelesaikan masalah, malahan semakin membuat lebih tidak layaknya hasil pendidikan bagi anak-anak bangsanya. Lagi-lagi doktrin sesat yang menggunakan alat agama dan budaya untuk menina bobokan para penuntut perubahan system sosial menjadi sejata pamungkas yang sadar dan tidak sadar semakin melenggangkan penguasaan asing di negeri ini lewat perekonomian dengan memanfaatkan gagalnya pembentukan SDM.
Kesejahteraan ekonomi terus menjadi mimpi tak berkesudahan. Harapan dan impian hanya sebuah ilusi tak bertepi, kemana anak bangsa mengadu? Kemana anak bangsa meminta perlindungan atas hak-haknya mendapatkan kehidupan yang sejahtera di rumahnya sendiri? Gagalnya system pendidikan adalah bukti ungkapan pendiri bangsa ini, bahwa bamhsaku akan menjadi bangsa buruh diantara bangsa-bangsa. Tak cukupkah itu membuat kesadaran dan keberanian mengatakan bahwa Negara ini telah gagal melindungi rakyatnya dari segenap tumpah darah Indonesia? Malukah mengakui bahwa pemerintah telah gagal dalam menghantarkan rakyatnya kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia? Malukah mengakui kenyataan ini? Lalu membuat berbagai macam alibi dan pembelaan serta pembenaran yang pada akhirnya menuai pertikaian? Menepis kritik dengan pembenaran yang keliru hanya karea keegoisan semata? Berkelindanlah masalah demi masalah tanpa ujung penyelesaian. Berlayarlah kapal negeri bernama Indonesia ke tengah samudera tanpa tujuan dan tanpa perangkat perlindungan dan peralatan untuk penyelamatan. Kapal besar terbawa kemana saja  angin membawa, sementara para penumpangnya bertengkar tanpa memperhitungkan berapa lama lagi kapal ini mampu bertahan ditengah besarnya gelombang samudera. Sementara para penumpang ada yang tertidur, bermain game, bercanda, bergurau sampai berkelahi, sebagiannya lagi melubangi kapal dan air masuk kedalamnya. Dan sebagian kecil dari para penumpang itu resah dengan kenyataan yang ada, mencoba mengajak diskusi untuk penyelamatan, sementara pemegang kemudi dan petugas strategis sibuk dengan pakaian dan dagelan-dagelan konyol. ***            

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar