Selasa, 21 Maret 2017

EFEK PSIKOLOGIS PADA KORBAN PEDOFILIA



Kabar ditangkapnya jaringan sindikat pornografi anak dan para phedofil oleh Polda Metro jaya menjadi sorotaan publik. Pasalnya grup yang bernama Official Candy’s Group 18+ adalah wadah komunikasi para lolicon yang saling terhubung dengan 9 negara lainnya. Sindikat yang sangat membahayakandan membuat resah para orang tua yang memiliki anak yang masih kecil. KPAI mengatakan bahwa sindikat ini merupakan kejahatan pertama yang melibatkan banyak anggota.
Fakta mengerikan sindikat ini bukan hanya kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan para pedofil, melainkan ajang bisnis yang mendapatkan keuntungan ekonomi, diperkirakan pendapatan admin grup ini mencapai 1,4 M, sebuah angka yang fantastis yang diperoleh dari perilaku jahat terhadap anak-anak. Sebuah kejahatan yang luar biasa, selain membagikan konten porno grup ini juga sharing yang sangat aktif dalam menyasar korban. Polisi menemukan sekitar 500 film dan 100 foto bermuatan pornografi.     
Kita masih ingat kasus kejahatan seksual di Bekasi setahun lalu, seorang bayi berumur dua tahun tewas diperkosa oleh tetangganya sendiri. Kasus anak SD yang dihamili pacarnya atau dihamili orang terdekat, vidio porno anak SMP dan sejumlah kasus pornografi anak-anak lainnya.
Pada tahun 2010 KPAI mencatat terdapat 21.600 kasus yang  meliputi kasus kekerasan sexual, pemerkosaan, pelecehan dan pencabulan. Tingginya lonjakan kasus-kasus pelecehan sexual yang disertai kekerasan setiap tahun semakin sulit diberantas. Presiden Jokowi sempat menyatakan Indonesia darurat bahaya seksual sehingga mengeluarkan Perpu Perlindungan Kekerasan Seksual yang menetapkan hukuman kebiri bagi pelaku. Hal ini terang menuai kontroversi terutama para dokter yang ditunjuk sebagai eksekutor. Belumlah usai berbebatan hukuman kebiri bagi pelaku, kini muncul kasus pedofilia, dengan sasaran korban lebih mengerikan, yakni anak-anak yang masih balita.
Lolicon (istilah untuk para pedofil), memburu anak-anak kecil yang masih balita, mulai usia 2 tahun sudar diincar para predator pedofil. Biasanya mereka menyasar korban mulai dari usia balita hingga sekolah SD. Setelah lulus SD biasanya merekaa melepaskan si korban, dan menyasar lagi korban lain yang lebih kecil. Sunggguh ini sebuah kejahatan yang luar biasa.
Dalam suatu diskusi mengenai Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, terlontar sebuah pertanyaan, bagaimana menangani anak usia SD kelas 6 yang sudah tidak perawan lagi?, bagaimana sekolah melihat kasus-kasus anak SD yang hamil di luar nikah? Bagaimana guru dan orang tua menyikapi ketika menghadapi kenyataan anak-anak mereka tertangkap basah berbuat mesum di dalam WC sekolah? Atau kasus-kasus lain yang membuat merinding bulu kuduk.
Belakangan pula marak di media sosial anak-anak SD mengunggah foto-foto mesum mereka di akun Facebook atau Istagram. Vidio anak SMP yang melakukan perbuatan mesum dengan ditonton oleh kawan-kawannya bahkan kasus anak SMP yang nekat berhubungan intim di atas motor. Berita-berita tersebut sungguh sangat miris, namun tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada sebab musabab dan ada faktor pendorong sehingga hal tersebut terjadi. Jika difikir secara rasional, sungguh sangat mustahil anak-anak kecil mampu melakukan hal demikian. Apa yang menjadi sebabnya, sehingga anak-anak kecil mampu melakukan sesuatu perbuatan yang belum pantas dilakukan?
Jika ditarik dua persoalan diatas, ada titik temu dan keterpengaruhan dari dua persoalan yang tidak terlalu jauh berbeda. Kasus terakhir adalah akumulasi dari kasus pertama. Kenakalan remaja berupa perbuatan sex bebas berkorelasi dengan permasalahan pedofil.
Dalam perkembangan psikologi anak, ketika anak berumur dua tahun anak mengalami masa anal, yakni masa dimana anak-anak merasakan kenikmatan bersentuhan. Pada masa ini pula otak anak berada pada perkembangan yang sangat tinggi. Sel-sel otak anak berkembang dengan cepat. Anak mampu menerima informasi dengan cepat serta mengumpulkan setiap informasi dan menyambungkannya dengan informasi yang lainnya. Otak anak pada usia balita berkembang hingga 80% dan mampu menyerap informasi dan menyimpannya dalam suatu ingatan jangka panjang. Setiap pengalaman yang terasakan langsung, teramati dan terlihat akan disimpan dalam memory otak dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Setiap perbuatan, perkataan, perlakuan, penglihatan daan pengalaman-pengalaman pada usia ini sangat menentukan prilaku, sikap, cara berfikir, cara bertindak dan kepribadian anak pada usia remaja hingga dewasa. Pengindraan anak pada usia balita hampir seluruhnya akan menjadi prilaku pada masa anak menginjak dewasa.
Kita lihat contoh yang real, ketika orang tua melatih anak sejak usia dini hingga menjelang remaja suatu kedisiplinan diri di rumah secara kontinyu dan terarah, maka usia menginjak remaja disiplin menjadi hal yang biasa baginya. Dan kedisiplinan tersebut melekat dalam dirinya. Contoh lain, anak yang sedari kecil selalu diajari bagaimana cara melenggang lenggok memperagakan busana di atas panggung di sebuah sekolah model, menjelang remaja nyata terlihat semakin matang gaya dan penampilannya dalam memperagakan busana di atas panggung. Serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dilakukan sejak kecil dan terus menerus.
Kembali kepada masalah kasus pedofilia di atas. Anak usia dini yang mengalami perlakuan, penglihatan, perbuatan dan pengalaman sexualitas secara langsung maka pengalaman itu akan tersimpan di dalam memory otak. Pengalaman tersebut tersimpan hingga otaknya menjadi lebih sempurna dalam perkembangannya. Apabila masa-masa emas seorang anak mendapatkan perlakuan sexualitas yang sempurna dan kontinyu dalam kehidupannya selama bertahun-tahun maka pengalaman ini akan menuntun ia menyempurnakan perbuatan sexualitasnya pada usia menjelang dewasa. Selama pengalaman itu berlangsung selama itu pula otaknya bekerja.
Kita terhenyak beberapa waktu yang lalu dihadapkan dengan ditangkapnya mucikari yang berstatus siswi SMP, vidio mesum pemerannyaa anak SMP, dan kasus-kasus lainnya. Jika kita fikir secara logika kenormalan, mana mungkin anak SMP mampu melakukan hal itu? Tapi coba kita hubungkan dengan kasus pedofil. Secara teori terdapat keterkaitan prilaku kenakalan sexual yang dilakukan anak-anak remaja dengan pengalaman yang dialami seorang anak usia dini.
Ada sebuah korelasi antara pengalaman waktu kecil dengan prilaku saat remaja, semakin banyak pengalaman sexual yang diindra oleh seorang anak maka semakin besar peluang keberanian eksplorasi sexualnya. Semakin sedikit pengalaman yang terindra mengenai sexual maka semakin kecil prilaku eksplorasi sexual seseorang saat remaja.
Perkiraan beradasarkan teori-teori kita bisa saksikan jika anak sedari kecil sudah perlakukan menghormati dan menghargai dirinya, seperti diajari tidak membuka pakaian dihadapan orang lain, kencing tidak boleh sembarangan, tidur sudah terpisah dengan orang tua dan saudara laki-laki, menutup dan mengunci pintu saat tidur. Kita bisa lihat setelah remaja anak lebih santun menjaga dirinya, tidak mau di colek-colek lawan jenis, malu berdua-duaan, menjaga aurat serta berusaha menjaga diri dari lawan jenis.
Realitas-realitas yang berbeda dapat kita amati secara langsung pada remaja yang ia mendapat perlakuan yang berbeda sejak kecil. Bukan hanya prilaku sex semata melainkan setiap kebiasaan yang dilakukan sejak kecil maka akan terlihat saat menjelang dewasa atau remaja.
Jagalah anak-anak kita dari pengalaman yang buruk, berilah ia pengalaman yang baik dan mendidik, setiap kebiasaan yang dialami sejak kecil akan menjadi langkah selanjutnya. Jangan biarkan anak-anak kita mendapatkan pengalaman buruk yang merugikan, jangan biarkan anak-anak kita menjadi benalu dalam kehidupannya sendiri, jaga anak-anak kita demi masa depannya, demi hari depannya dan demi aset bangsa.
#Selamatkan anak kita dari aancaman pedofil            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar