Eneng Humaeroh
Siang tadi udara cukup cerah, tidak ada tanda-tanda
hujan akan turun di tanah Jakarta. Sembari makan siang aku dan teman-teman
berdiskusi gaya bebas, mulai dari diskusi perbaikan tesis, presentasi proposal,
filsafat-nya Mulla Shadra sebagai kokojo
sampe daging ayam yang sexy, lelucon-lelucon lucu pun bermunculan sebagai
interpretasi rasa. Ah waktu sudah merambat, kelas percepatan study ala pak
Humaidi alaihi salam eh, humaidi as maksud saya sudah hampir dimulai, kami
bersiap menuju kampus kembali.
Tuhan berkehendak lain, di depan kampus aku bertemu teman
seangkatan tapi karena ia pencinta ilmu maka ia terun mengulang ilmu
theology-nya di kelas matrikulasi, Andini, meminta aku menemaninya minum di
kantin. Karena aku sayang kepadanya maka kupenuhi permintaannya.
Nah, sementara aku, Andini duduk dengan dua teman yang
lain, profesor Mulyadi Kertanegara datang menghampiri kami, mengucapkan salam
dan menyalami kami satu persatu, wah baru nih ceritanya ada profesor yang
mendatangi mahasiswa dan menyalami terlebih dahulu, biasanya profesor suka ja’im
apalagi duduk bareng di sebuah kantin sederhana. Pak profesor memesan makanan, nasi
putih, sepotong ayam goreng dan lalap mentimun, sederhana sekali itu makanan,
mirip makanan mahasiswa. Dimeja itu kami makan bersama. Aku hanya memesan teh
panas, karena khawtir difitnah gembul makan melulu. Sambil makan terjadilah
diskusi tentang epstemologi filsafat Islam dengan sang profesor. Sambil melahap
makanan, beliau berkata, “saya nanti awal bulan Januari akan terbang ke Brunai,
mengajar disana, di sebuah universitas yang besar”.
“wah pak......selamat, saya sangat senang mendengarnya”
jawabku dengan antusias. Teman-teman bereaksi, karena merasa satu persatu dosen
berkualitas meninggalkan ICAS.
“ada motivasi lain yang membuat saya menerima tawaran
itu”. Sambungnya, kami terdiam, menyimak dengan serius obrolan kami.
“apa itu pak?”. Tanyaku spontan
“karena selama ini Indonesia hanya mengirimkan TKI
pembantu rumah tangga saja kesana, memalukan sekali kita ini. Dalam wawancara
di Malaysi minggu lalu saya mengatakan bahwa Indonesia memiliki segudang
orang-orang pandai, profesor, tehnokrat, pemikir, intelektual muda atau banyak
lainnya, tapi yang selalau di dengungkan Indonesia bangsa yang murah karena
hanya mampu ekspor TKI ke luar negeri”. Pak Mul mejeaskan panjang lebar.
“betul pak, saya pikir bapak memang sudah pantas untuk
melangkah menginternasionalkan bapak, karena di dalam negeri gagasan dan
pemikiran bapak tidak akan berkembang, monoton serta tidak dikenal oleh negara
lain, akan menjadi sangat terbatas”. Aku menimpali perkataan pak Mul. Beliau mengangguk
tanda setuju, kemudia ia meneruskan pendapatnya, “saya ingin buku-buku saya
ditulis dalam bahasa inggris, diterbitkan di luar negeri agar lebih di kenal”.
“wah, bagus pak..... di Brunei bapak bisa mencari
akses, pemerintah Brunei atau pihak yang inters dengan ilmu pengetahuan agar
dapat mentranslet tulisan bapak ke berbagai bahasa, dengan begitu jalan bapak
untuk menginternasionalkan diri bisa di capai”.
“rencananya begitu”. Jawabnya
“amin... semoga tercapai ya pak, dan membuktikan kalau
negara ini bukan gudang TKI tapi gudangnya pemikir”. Jawabku lagu, pak profesor
tertawa, kami semua tertawa berdera. Kemudian
kami terlibat dengan diskusi tentang
epistemologi, lumayan transfer ilmu tanpa harus susah payah duduk di kelas,
selain itu pak Mul memberikan kritik terhadap intelektual muda yang seringkali
mengkaji ilmu yang sepihak, artinya ketika belajar Filsafat Islam, Filsafat
tidak dipelajari sehingga argumentasi dangkal untuk memberikan kritik,
sebaiknya katanya mempelajari filsafat harus keseluruhan agar kita tahu
kebaikan dan kekurangan dari kedua pandangan tersebut. Dan hal yang paling
sering dilupakan intelektual muda adalah jarangnya menulis, mengungkapkan
gagasan dan ide orisinilnya, banyak kaum intelektual muda yang hanya
menyampaikan apa yang ia ketahui dari pandangan tokoh yang ia pelajari namun,
tidak memiliki pandangannya sendiri. Idealnya intelektual muda memiliki gagasan
dan pemikiran sendiri jangan hanya mencukil, tetapi segera memposisikan diri,
uraian sang profesor sangat tegas dan jelas.
“lalu bagaimana cara memposisikan diri? sementara ketika kita menuangkan gagasan dan
ide, semua terinspirasi dari tokoh yang kita kagumi” tanyaku.
“pemikiran berangkat dari pengalaman hidup, dan itu
pasti ada pemikir atau tokoh yang mengatakan hal yang sama, disanalah kita mencari posisi”. Jawab pak Mul. Aku setuju
intelektual muda jangan cima menukil pendapat orang lain, tapi memiliki
pandangan sendiri dan pandangannya harus memiliki dasar pijakan.
Sebuah pematangan diri, dialog yang sangat
menginspirasi. Diskusi yang familier tanpa terhalang status dan tingkat
keilmuan, seorang profesor yang terbuka dengan siapa saja yang mencintai ilmu
dan memiliki keinginan mengembangkan ilmu. Yah... semisal ratusan atau jutaan
profesor seperti pak Mulyadi, rendah hati, terbuka dan selalu memberi motivasi
kepada siapapun, aku yakin Indonesia tidak akan sesemrawut ini. Kaum intelektual
dengan suka rela memberikan sumbangsih pemikiran demi negaranya, bukan mencari
sesuap nasi di dalam negaranya.
penulis adalah Pengurus Partai Amanat Nasional
Wakil Sekretaris DPD Kota Bandung
Mahasiswa ICAS-Paramadina, Jakarta