Selasa, 21 Maret 2017

EFEK PSIKOLOGIS PADA KORBAN PEDOFILIA



Kabar ditangkapnya jaringan sindikat pornografi anak dan para phedofil oleh Polda Metro jaya menjadi sorotaan publik. Pasalnya grup yang bernama Official Candy’s Group 18+ adalah wadah komunikasi para lolicon yang saling terhubung dengan 9 negara lainnya. Sindikat yang sangat membahayakandan membuat resah para orang tua yang memiliki anak yang masih kecil. KPAI mengatakan bahwa sindikat ini merupakan kejahatan pertama yang melibatkan banyak anggota.
Fakta mengerikan sindikat ini bukan hanya kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan para pedofil, melainkan ajang bisnis yang mendapatkan keuntungan ekonomi, diperkirakan pendapatan admin grup ini mencapai 1,4 M, sebuah angka yang fantastis yang diperoleh dari perilaku jahat terhadap anak-anak. Sebuah kejahatan yang luar biasa, selain membagikan konten porno grup ini juga sharing yang sangat aktif dalam menyasar korban. Polisi menemukan sekitar 500 film dan 100 foto bermuatan pornografi.     
Kita masih ingat kasus kejahatan seksual di Bekasi setahun lalu, seorang bayi berumur dua tahun tewas diperkosa oleh tetangganya sendiri. Kasus anak SD yang dihamili pacarnya atau dihamili orang terdekat, vidio porno anak SMP dan sejumlah kasus pornografi anak-anak lainnya.
Pada tahun 2010 KPAI mencatat terdapat 21.600 kasus yang  meliputi kasus kekerasan sexual, pemerkosaan, pelecehan dan pencabulan. Tingginya lonjakan kasus-kasus pelecehan sexual yang disertai kekerasan setiap tahun semakin sulit diberantas. Presiden Jokowi sempat menyatakan Indonesia darurat bahaya seksual sehingga mengeluarkan Perpu Perlindungan Kekerasan Seksual yang menetapkan hukuman kebiri bagi pelaku. Hal ini terang menuai kontroversi terutama para dokter yang ditunjuk sebagai eksekutor. Belumlah usai berbebatan hukuman kebiri bagi pelaku, kini muncul kasus pedofilia, dengan sasaran korban lebih mengerikan, yakni anak-anak yang masih balita.
Lolicon (istilah untuk para pedofil), memburu anak-anak kecil yang masih balita, mulai usia 2 tahun sudar diincar para predator pedofil. Biasanya mereka menyasar korban mulai dari usia balita hingga sekolah SD. Setelah lulus SD biasanya merekaa melepaskan si korban, dan menyasar lagi korban lain yang lebih kecil. Sunggguh ini sebuah kejahatan yang luar biasa.
Dalam suatu diskusi mengenai Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, terlontar sebuah pertanyaan, bagaimana menangani anak usia SD kelas 6 yang sudah tidak perawan lagi?, bagaimana sekolah melihat kasus-kasus anak SD yang hamil di luar nikah? Bagaimana guru dan orang tua menyikapi ketika menghadapi kenyataan anak-anak mereka tertangkap basah berbuat mesum di dalam WC sekolah? Atau kasus-kasus lain yang membuat merinding bulu kuduk.
Belakangan pula marak di media sosial anak-anak SD mengunggah foto-foto mesum mereka di akun Facebook atau Istagram. Vidio anak SMP yang melakukan perbuatan mesum dengan ditonton oleh kawan-kawannya bahkan kasus anak SMP yang nekat berhubungan intim di atas motor. Berita-berita tersebut sungguh sangat miris, namun tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada sebab musabab dan ada faktor pendorong sehingga hal tersebut terjadi. Jika difikir secara rasional, sungguh sangat mustahil anak-anak kecil mampu melakukan hal demikian. Apa yang menjadi sebabnya, sehingga anak-anak kecil mampu melakukan sesuatu perbuatan yang belum pantas dilakukan?
Jika ditarik dua persoalan diatas, ada titik temu dan keterpengaruhan dari dua persoalan yang tidak terlalu jauh berbeda. Kasus terakhir adalah akumulasi dari kasus pertama. Kenakalan remaja berupa perbuatan sex bebas berkorelasi dengan permasalahan pedofil.
Dalam perkembangan psikologi anak, ketika anak berumur dua tahun anak mengalami masa anal, yakni masa dimana anak-anak merasakan kenikmatan bersentuhan. Pada masa ini pula otak anak berada pada perkembangan yang sangat tinggi. Sel-sel otak anak berkembang dengan cepat. Anak mampu menerima informasi dengan cepat serta mengumpulkan setiap informasi dan menyambungkannya dengan informasi yang lainnya. Otak anak pada usia balita berkembang hingga 80% dan mampu menyerap informasi dan menyimpannya dalam suatu ingatan jangka panjang. Setiap pengalaman yang terasakan langsung, teramati dan terlihat akan disimpan dalam memory otak dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Setiap perbuatan, perkataan, perlakuan, penglihatan daan pengalaman-pengalaman pada usia ini sangat menentukan prilaku, sikap, cara berfikir, cara bertindak dan kepribadian anak pada usia remaja hingga dewasa. Pengindraan anak pada usia balita hampir seluruhnya akan menjadi prilaku pada masa anak menginjak dewasa.
Kita lihat contoh yang real, ketika orang tua melatih anak sejak usia dini hingga menjelang remaja suatu kedisiplinan diri di rumah secara kontinyu dan terarah, maka usia menginjak remaja disiplin menjadi hal yang biasa baginya. Dan kedisiplinan tersebut melekat dalam dirinya. Contoh lain, anak yang sedari kecil selalu diajari bagaimana cara melenggang lenggok memperagakan busana di atas panggung di sebuah sekolah model, menjelang remaja nyata terlihat semakin matang gaya dan penampilannya dalam memperagakan busana di atas panggung. Serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dilakukan sejak kecil dan terus menerus.
Kembali kepada masalah kasus pedofilia di atas. Anak usia dini yang mengalami perlakuan, penglihatan, perbuatan dan pengalaman sexualitas secara langsung maka pengalaman itu akan tersimpan di dalam memory otak. Pengalaman tersebut tersimpan hingga otaknya menjadi lebih sempurna dalam perkembangannya. Apabila masa-masa emas seorang anak mendapatkan perlakuan sexualitas yang sempurna dan kontinyu dalam kehidupannya selama bertahun-tahun maka pengalaman ini akan menuntun ia menyempurnakan perbuatan sexualitasnya pada usia menjelang dewasa. Selama pengalaman itu berlangsung selama itu pula otaknya bekerja.
Kita terhenyak beberapa waktu yang lalu dihadapkan dengan ditangkapnya mucikari yang berstatus siswi SMP, vidio mesum pemerannyaa anak SMP, dan kasus-kasus lainnya. Jika kita fikir secara logika kenormalan, mana mungkin anak SMP mampu melakukan hal itu? Tapi coba kita hubungkan dengan kasus pedofil. Secara teori terdapat keterkaitan prilaku kenakalan sexual yang dilakukan anak-anak remaja dengan pengalaman yang dialami seorang anak usia dini.
Ada sebuah korelasi antara pengalaman waktu kecil dengan prilaku saat remaja, semakin banyak pengalaman sexual yang diindra oleh seorang anak maka semakin besar peluang keberanian eksplorasi sexualnya. Semakin sedikit pengalaman yang terindra mengenai sexual maka semakin kecil prilaku eksplorasi sexual seseorang saat remaja.
Perkiraan beradasarkan teori-teori kita bisa saksikan jika anak sedari kecil sudah perlakukan menghormati dan menghargai dirinya, seperti diajari tidak membuka pakaian dihadapan orang lain, kencing tidak boleh sembarangan, tidur sudah terpisah dengan orang tua dan saudara laki-laki, menutup dan mengunci pintu saat tidur. Kita bisa lihat setelah remaja anak lebih santun menjaga dirinya, tidak mau di colek-colek lawan jenis, malu berdua-duaan, menjaga aurat serta berusaha menjaga diri dari lawan jenis.
Realitas-realitas yang berbeda dapat kita amati secara langsung pada remaja yang ia mendapat perlakuan yang berbeda sejak kecil. Bukan hanya prilaku sex semata melainkan setiap kebiasaan yang dilakukan sejak kecil maka akan terlihat saat menjelang dewasa atau remaja.
Jagalah anak-anak kita dari pengalaman yang buruk, berilah ia pengalaman yang baik dan mendidik, setiap kebiasaan yang dialami sejak kecil akan menjadi langkah selanjutnya. Jangan biarkan anak-anak kita mendapatkan pengalaman buruk yang merugikan, jangan biarkan anak-anak kita menjadi benalu dalam kehidupannya sendiri, jaga anak-anak kita demi masa depannya, demi hari depannya dan demi aset bangsa.
#Selamatkan anak kita dari aancaman pedofil            

Minggu, 03 April 2016

Dialektis Social

           
Entah harus darimana memulai tulisan ini. Berkelindan dan gerak memutar tiada berhenti inti permasalahan yang nyaris tidak begitu jelas. Berbagai diskusi digelar tiada berkesudah, namun menguap tanpa mampu dibendung. Entah kemana larinya hasil dan simpulan diskusi dari meja ke meja. Berbagai tema diskusi digelar dengan hebanya, namun entah seperti apa proses pengejawantahan ilmu pengetahuan sehingga masyarakat tidak merasakan efek domino dari berkembangnya ilmu pengetahuan.
Ada pertanyaan yang sangat mendasar mengenai pengembangan ilmu pengetahuan yang disebut-sebut dengan megahnya oleh para intelektual. Pengembangan secara tertulis di atas kertas dengan angka-angka atau huruf-huruf namun dalam roda perkembangan di dalam sosial masyarakat seolah tidak menemukan titik terang, kebuntuan yang menyelimuti setiap gerak.   
Setiap bidang dapat diamati dengan seksama, ekonomi dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, pelayanan public, pertanian dan peternakan, media cetak dan jurnalistik bahkan informasi media elektronik tidaklah beranjak dari ketidak berdayaannya. Seolah system sosial mengalami stagnansi bahkan mengalam kemunduran jauh beberapa langkah ke belakang setelah apa yang dicapai selama ini.
Kemunduran secara ekonomi kasat mata dapat diamati dalam situasi lingkungan dan hangatnya media menyoroti problematika ekonomi dari hari ke hari. Berita diturunkan secara simpang siur bak sebuah puzzle yang berupa kepingan bentuk-bentuk tertentu. Kelangkaan produksi, sulitnya pencari kerja bukan saja karena dunia industry tidak bertumbuh atau bahkan gulung tikar, melainkan tenaga terampil yang teramat sulit didapatkan. Tenaga-tenaga pencari kerja tidak dibekali dengan keterampilan dan kecakapan vokasional, melainkan tenaga buruh kasar. Para buruh kasar kerja serabutan tidak mengenal jenjang pendidikan formal, yang berpendidikan atau lulusan pendidikan formal tidak mampu bekerja dengan basis dasar tenaga terampil. Demikian pula yang tidak sekolah, tidak mampu memiliki keterampilan yang mampu menempatkan dirinya menjadi seorang karyawan.
Persoalan tersebut tidak hanya terpaku pada persoalan kecil dan parsial semata. Di perkotaan dan di perdesaan ekonomi tidak tumbuh dengan merata. Kemampuan sosial penduduk tidak mampu digiring dengan paksa dengan istilah percepatan ekonomi yang seringkali digembar-gemborkan oleh beberapa kementrian yang menaungi pertumbuhsn ekonomi nasional.  Persoalan-persoalan particular seperti kemiskinan, kemerosotan ekonomi, kurangnya tenaga terampil serta  persoalan hulu-hilir yang saling berkelindan menjadi persoalan rumit tidak mampu dicarikan solusi pemecahannya secara bijak dan cepat.
Istilah ekonomi kreatif yang disebut-sebut untuk menyiapkan MEA sejauh ini belum menunjukan arah yang menggembirakan. Masyarakat menunggu berbagai kebijakan dan bersiap melaksanakan setiap kebijakan yang katanya demi mengupayakan pertumbuhan ekonomi sebagai dasar pemenuhan hajat hidup untuk dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Namun berita demi berita yang disampaikan rupanya masih berupa angin surga. Betapa sulitnya membangun sebuah usaha berbasis kekuatan ekonomi, sangat rumit dan memerlukan tenaga yang ektra kuat, baik secara fisik maupun mental.
Persoalan ekonomi tidaklah semata-mata berada di bidang perdagangan dan keterampilan para pelakunya, yang sangat bergantung pada kemampuan penguasaan ekonomi mikro dan makro. Namun setiap hal yang berkegiatan dapat dipastikan memiliki hubungan yang langsung maupun tidak langsung dengan pertumbuhan sector ekonomi. Ekonomi adalah dasar kehidupan setiap individu. Ketika individu-individu tidak mampu bergerak dalam bidang ini, problematika sosial akan menjadi sasaran permasalahan dan persoalan berikutnya. Sektor-sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan, pelayanan public, dan bidang-bidang lain berkorelasi dengan permasalahan ekonomi secara utuh. Ekonomi memacu gerakan sosial politik, ekonomi memacu pertumbuhan ilmu pengetahuan, ekonomi menggiring pada ketentraman, ekonomi membawa pada perubahan-perubahan secara sosial dan politik. Dalam kondisi normal, posisi penting perekonomian baik bagi individu-individu maupun masyarakat menjadi pemantik damai tidaknya sebuah system sosial.
Logika terbalik dan doktrin sesat
Kondisi terbalik dapat kita amati pada mekanisme system yang kini keberlakuannya sangat dipaksakan para alim penguasa. Lihat saja konsep pendidikan yang terlalu melangit, pendidikan memiliki tujuan mencerdaskan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi  pekerti yang luhur, memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Logikanya, bagaimana mencapai tujuan tersebut dengan anggaran pendidikan yang minim, belum lagi minimnya anggaran yang dikorupsi oleh oknum-oknum dari setiap masing-masing tingkatan mulai dari kementrian pusat sampai tingkat satuan pendidikan? Lalu bagaimana SDM berupa tenaga pendidik dan kependidikan yang rendah? Bagaimana para tenaga pendidik tersebut mampu mengejawantahkan tujuan pendidikan yang super hebat dengan perangkat dan komponen pendidikan yang sangat terbatas? Bagaimana system pendidikan yang teramat simpang siur dan bongkar pasang diterapkan pada tingkat pelaksana teknis pada satuan tingkat pendidikan? Bagaimana para pejuang pendidikan mampu berperang di medan laga ketika mereka tidak dibekali amunisi yang cukup, meski hanya sekedar menjaga kebugaran fisik dalam menjalankan tugasnya? Lalu bagaimana status bagi para pejuang pendidikan tersebut ketika system tidak memberikan pengakuan status kepada mereka, berupa SK pengangkatan Guru dan Dosen, atau tenaga kependidikan? Apa yang harus dilakukan para pejuang pendidikan ketika mereka diintimidasi dengan peraturan tidak boleh keras dalam mengajar, harus memberikan kebebasan kepada para siswa, memperketat peraturan sekolah bagi pelajar, ketetapan yang mengikat namun merugikan bagi guru dan siswa dalam pelaksanaan proses belajar, serta kesibukan administrative yang melimpah sehingga menguras tenaga dan fikiran sehingga berakibat lalai terhadap para siswa.
Para pendidik dan tenaga kependidikan seperti obyek dungu yang mudahnya dipermainkan dengan payung hukum yang tidak berpihak pada mereka. Aturan yang dibuat bak ketoprak humor dan doktrin sesat berkepanjangan. Tengok saja persyaratan administrasi yang meribet terkait dengan upah baik status PNS atau sertifikasi. Aturan yang gampang berubah serta ketidakjelasan. Kurikulum seperti sampah dan tumpang tindih satu dengan lainnya serta doktrin sesat semacam ideology, berupa nasihat dan kampanye perjuangan berupa istilah ibadah bagi para pejuang sebagai hiburan dan pengalihan atas tunturan hak bagi mereka.
Semua persoalan itu saling berkait, membuat kelindan tiada henti, ditambah campur tangan para lintah penghisap berupa oknum yang memanfaatkan rendahnya SDM para pelaksana pendidikan, baik mereka berasal dari instansi terkait ataupun berasal dari instansi gurem.
Persoalan ini seperti benang kusut, tidak ada tindakan penyelesaian yang mampu menghentikan atau bahkan hanya meminimalisir persoalan lainnya. Seperti sebuah candu, solusi diberikan demi menyelesaikan problematika pendidikan, namun sisi lain menambah atau bahkan membuat persoalan baru di sisi yang lain. Ibarat sebuah pakaian terlalu banyak tambal sulam di setiap bagiannya. Sehingga rencana hebat yang diungkapkan dalam tujuan super hebat dalam sebuah undang undang, hanya menghasilkan sebuah pakaian yang compang camping. Penuh tambalan disana sini, buruk rupa dan nyaris tidak dapat digunakan di setiap moment.
Analogi gagalnya pendidikan yang diibaratkan seperti sebuah pakaian yang compang camping, dapat kita amati pada produktifitas lulusan pendidikan formal. Berapa banyakah para lulusan sekolah yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang penuh dengan integritas, kejujuran, keyakinan dan rasa percaya diri, mampu bersaing dan kompetitif dalam mencapai prestasi, mampu menunjukan akhlak yang mulia serta bertanggungjawab sebagai seorang pembelajar?     
Kita dapat dengan mudahnya mengamati dan mengobservasi siswa-siswa dan mahasiswa yang kurang serius dalam proses belajar, praktek instanisasi belajar berupa copy paste atau goggling, ketidakmampuan menggunakan media teknologi sebagai produk bebas nilai, alias salah kaprah penggunaan media dan teknologi. Atau betapa mudahnya lulus menjadi sarjana, baik kualitas pendidikan maupun kuantitas proses belajar mengajar.
Dunia industry dan dunia usaha tidak mampu menyerap lulusan baik sarjana atau non sarjana. Sehingga jumlah pencari kerja dan angka pengangguran usia produktif semakin meningkat dari tahun ke tahun. Para sarjana banting setir menjadi buruh kasar, pekerja non formal serta sebagiannya lagi bekerja tidak sesuai dengan konsentrasi pendidikan yang ditempuh. Dunia industry hanya memberi ruang sempit berupa tenaga teknis dan bukan pada posisi tenaga ahli. Kalaupun berhasil memasuki dunia usaha dan memperoleh jabatan strategis hanya mampu menempati posisi menengah, sedang posisi strategis penting dalam menentukan arah kebijakan perusahaan hingga pemegang saham dikuasai lulusan asing, bahkan orang asing. Dan gilanya mereka cukup bangga menempati posisi tengah dan menjadi budak asing, yang setiap kebijakan usaha seringkali melawan ketetapan pemerintah. Ibarat kata, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, berupa hak yang sebesar-besarnya atas keuntungan yang diperoleh dalam usaha bahkan kalau bisa tidak membayar sekalipun jatah untuk Negara ini, sementara penetapan upah yang rendah bagi anak negeri, sementara penghormatan yang setinggi-tingginya bagi asing yang notabene tamu di negeri sendiri. Dan hal ini dimuluskan dengan kebijakan-kebijakan keliru dan tidak berpihak, yang tidak lain dan tidak bukan sangat rendahnya SDM kita. Sehingga tidak masuk pada zona berganing malah malah menjadi kuli dirumah sendiri. Tengok saja pada setiap kantor-kantor perusahaan asing, mulai menejer menengah, staf hingga OB diisi anak-anak negeri, sementara menejer tengah hingga dewan direksi dan pemegang saham adalah orang-orang asing.
Hinakah pemerintah menyaksikan kenyataan itu? Pertanyaan yang tabu dilontarkan para pengkritik kepada pemerintah yang gagal melindungi rakyat dari kebodohan melalui system pendidikan. Mana mungkin pakaian yang compang camping dapat dipakai dalam sebuah pesta? Jika ada yang berani memakainya maka pastilah dianggap sebagai pengemis kotor, yang hanya akan mengotori suasana pesta. Si pemakai pakaian butut yang compang camping tentu saja akan merasa minder dan tidak mungkin masuk dalam pesta yang di gelar. Dia tidak akan berani bergabung, kecuali hanya orang gila saja yang dengan keluguannya memunguti sisa-sia makanan dari piring kotor bekas mereka.
Kesadaran diri akan pakaiannya yang compang camping tersebut, akan membuat sikap defensive dan keluar dari lingkaran. Dia tidak akan memaksakan diri bergaul dan bergabung dengan para peserta pesta tersebut.  Sehebat-hebatnya ia akan merapihkan pakaian compang camping tersebut sebisa mungkin agar layak di pakai. Dengan sedikit bekal, ia kan merapikan pakaiannya setidaknya agak pantas dikenakan.
Nah, itulah sebuah kesadaran seseorang yang dibesarkan oleh system pendidikan yang tidak jelas, antara rencana dan pola yang ditetapkan. Sehingga berusaha sekuat tenaga agar dapat masuk dalam arena pesta, agar dapat mengambil bagian meskipun bagian yang sangat kecil. Tetapi lebih besar dari itu mereka terlempar dari arena pesta dan keluar dari lingkaran. Demi untuk sekedar bertahan hidup, bekerjalah ia serabutan dan tidak memilik kejelasan masa depan.
Pesta, ibarat arena perekonomian yang memiliki syarat-syarat yang kompetitif dan kelayakan di dalamnya. Barang siapa yang memiliki pakaian yang terindah maka ia akan menjadi ratu di dalam pesta tersebut. Pakaian yang bukan hanya indah tetapi juga berkualitas dan berkelas. Pesta, yang digelar di negeri ini tidak mampu diikuti anak negeri yang menggunakan pakaian compang camping. Mereka yang memiiki kesempatan belajar ke luar negeri, bisa mendapatkan kesempatan berlaga dipesta tersebut. Namun bagi yang tidak mampu dalam sisi materi tentunya tidak mungkin dapat memiliki pakaian dari luar negeri. Dan ia akan membeli dan memakai pakaian pendidikan dalam negeri yang buruk rupa dan tidak layak pakai.
Analogi itu dapat kita saksikan setelah sekian puluh tahun mengamati system pendidikan yang setiap periode pergantian menteri bukan bertambah lebih baik melainkan lebih buruk. Mengapa? Tidak ada satu menteripun yang mampu membuat pola pakaian dengan tepat sesuai adat budaya, tradisi, cita rasa, aroma serta autentisitas negeri ini menjadi dasar pilosofis, dasar pemikiran yang dijadikan landasan dari pembuatan pola serta mencari perangkat dan komponen-komponen yang tepat dalam menyelesaikan pola. Mendesain system yang disesuaikan dengan aroma dan cita rasa dan karakte bangsa. Tentunya seperti sebuah pabrik konveksi, di setiap bagiannya ada pelaksana teknis dan pengontrol, dikerjakan bersama dengan kompak dan para pengontrol masing-masing bagian bekerja sama agar hasil dari masing-masing bagian dapat digabungkan sati dengan yang lainnya. Misalnya bagian penjahit lengan, mesti kompak denga kerjasama yang apik dengan para pengontrol penjahit bagian tubuh dan kerah, baik yang bagian kanan ataupun kiri. Para pengontrol mengawasi hasil jahitan masing-masing bagian agar rapi dan tidak mengalami kesalahan patal. Setiap bagian yang sudah dijahit dan disatukan dengan masing-masing bagian yang lain agar menjadi sebuah produk berupa pakaian yang sesuai dengan pola.
Kesesuaian dikontrol dengan kualitas yang sudah dideteksi bidikan dan sasaran jual dan pemasarannya. Jika produk pakaian itu baik model dan kualitas yang dipasarkan tersebut mampu bersaing dengan produk-produk lainnya yang sejenis dengan berbagai keunggulan, baik keunggulan berupa model maupun kualitas, maka produk tersebut tentunya tidak akan kalah bersaing dengan produsen lainnya. 
Analogi itu tentunya mudah dipahami bukan? Bukti dari kegagalan pemerintah dalam memberikan harga diri berupa pakaian yang layak dipakai atau bersaing di kancah perekonomian dapat kita lihat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia yang terdidik dan terampil. Sehingga banyak yang berguguran dalam kompetisi membangun usaha secara formal dan elit. Tersingkir dari kompetisi ekonomi secara nasional, tentunya sudah barang tentu tidak akan masuk pada kancah internasional. Meskipun lahi bentuk-bentk pendidikan non formal tidak ubahnya sebagai bentuk pelarian atas kegagalan dalam kancah kompetisi yang sesungguhnya. Paa sarjana banting setir atau balik arah membuat kreatifitas ang sebenarnya tidak keatif atau bahkan dapat disebut sebagai bentuk protes kasar terhadap kebijakan makro.
Harapan demi harapan bertumpuk pada menteri pendidikan pada setiap pergantian pemerintah hasil pemilu agar mampu membuat pola baru dalam dunia pembentuk sumber daya manusia sebagaimana amanah unang-undang dasar 45, namun tak urung harapan musnah terbawa angin dan isu perubahan yang melangit tanpa dasar. Permasalahan demi permasalahan berputar tiada henti, pasang-rombak tidak menyelesaikan masalah, malahan semakin membuat lebih tidak layaknya hasil pendidikan bagi anak-anak bangsanya. Lagi-lagi doktrin sesat yang menggunakan alat agama dan budaya untuk menina bobokan para penuntut perubahan system sosial menjadi sejata pamungkas yang sadar dan tidak sadar semakin melenggangkan penguasaan asing di negeri ini lewat perekonomian dengan memanfaatkan gagalnya pembentukan SDM.
Kesejahteraan ekonomi terus menjadi mimpi tak berkesudahan. Harapan dan impian hanya sebuah ilusi tak bertepi, kemana anak bangsa mengadu? Kemana anak bangsa meminta perlindungan atas hak-haknya mendapatkan kehidupan yang sejahtera di rumahnya sendiri? Gagalnya system pendidikan adalah bukti ungkapan pendiri bangsa ini, bahwa bamhsaku akan menjadi bangsa buruh diantara bangsa-bangsa. Tak cukupkah itu membuat kesadaran dan keberanian mengatakan bahwa Negara ini telah gagal melindungi rakyatnya dari segenap tumpah darah Indonesia? Malukah mengakui bahwa pemerintah telah gagal dalam menghantarkan rakyatnya kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia? Malukah mengakui kenyataan ini? Lalu membuat berbagai macam alibi dan pembelaan serta pembenaran yang pada akhirnya menuai pertikaian? Menepis kritik dengan pembenaran yang keliru hanya karea keegoisan semata? Berkelindanlah masalah demi masalah tanpa ujung penyelesaian. Berlayarlah kapal negeri bernama Indonesia ke tengah samudera tanpa tujuan dan tanpa perangkat perlindungan dan peralatan untuk penyelamatan. Kapal besar terbawa kemana saja  angin membawa, sementara para penumpangnya bertengkar tanpa memperhitungkan berapa lama lagi kapal ini mampu bertahan ditengah besarnya gelombang samudera. Sementara para penumpang ada yang tertidur, bermain game, bercanda, bergurau sampai berkelahi, sebagiannya lagi melubangi kapal dan air masuk kedalamnya. Dan sebagian kecil dari para penumpang itu resah dengan kenyataan yang ada, mencoba mengajak diskusi untuk penyelamatan, sementara pemegang kemudi dan petugas strategis sibuk dengan pakaian dan dagelan-dagelan konyol. ***            

        

REFLEKSI PILKADA SERENTAK 2015 BAGI PERCEPATAN KONSOLIDASI DEMOKRASI


A.    Dasar Filosofi   
Ragam maka yang digunakan dalam pembahasan politik dan perkembangannya pasca reformasi memang selalu menarik terutama dalam tataran kajian-kajian teori politik. Seperangkat toeri hipotesa mengenai suatu proses politik dalam membentuk institusi –institusi pemerintahan  yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip dasar moral social dan control prilaku politik. Suatu realitas yang tidak pernah luput dari persoalan yang beragam dan penjelasan yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.
Suatu proses politik yang melahirkan kepemimpinan  dan menetapkan fungsi pemerintahan seringkali terjebak dengan problem anti tesis, sebagai pembuat kebijakan politik dan  juga menangani problem-problem sosio-politik. Norma-norma yang mendasari kebijakan politik dan pertimbangan moral dan etis. Sebuah pertanyaan mendasar dari sebuah perhelatan besar bernama “Pilkada Serentak” adalah apa kebaikan-kebaikan yang mampu dicapai oleh Pemerintahan Daerah bagi masyarakat melalui Pilkada?
Postulat-postulat yang menciptakan social dan politik apakah mampu diikuti oleh masyarakat politik? Hal ini tentu memaparkan tentang tujuan sebuah pemerintahan, justifikasi moral dan kekuasaan politik. Bagaimana kekuatan politik dengan batas moral dan nilai-nilai moral dapat diferivikasi secara empiric. Nilai-nilai filosofi politik adalah tatanan dengan nilai etika sosial dan penekanan-penekanan social.
Kesejatian yang sering diabaikan adalah teori-teori politik bersebelahan dengan fakta-fakta politik sehingga tatanan dan makna tidak berkaitan dengan tujuan. Padahal hipotesis pilkada adalah membangun suatu pemerintahan daerah hasil dari investigasi politik. Terkadang teori bahwa sebuah kekuasaan sekelompok elit hanya sebuah fenomena pelembagaan pemerintahan hasil investigasi poitik.
Refleksi moral ini sangat penting sebab fase ilmu politik sangat luas dan dinamis, setiap periode tidak dapat digeneralisasi dengan teori-teori lama dalam konteks sejarah. Prilaku politik memiliki imperative etik dan proposional, dan ini tidak dapat dilepaskan dari perangkat-perangkat proposisi seperti tujuan penyelenggaraan sistem politik dan prosedur (cara-cara institusional) yang menjamin kekuasaan politik untuk kemaslahatan public.     

B.     Tujuan  Pilkada dan Penguatan Demokrasi
Tujuan sebuah pemerintahan adalah menciptakan lingkungan social dan cultural, didalamnya  setiap individu memiliki sarana material dan pendidikan untuk memaksimalkan potensi-potensi pribadinya. Kondisi factual individu-individu dalam masyarakat sejatinya ia berada pada tingkat ukuran terperhatikan dan ideal. Entitas politik bernilai representative dengan ide-ide terwujudnya masyarakat ideal.
Sistem yang berbeda sama sekali dengan pemilihan kolektif kolegial melalui perwakilan DPRD semestinya menunjukan perkembangan historis yang lebih baik. Pemilihan serentak menepis isu sentral kepemimpinan nasional dan meluputkan persoalan lain, dan pola demokrasi hangat sebagai sistem yang ideal dalam mengenali calon pemimpin daerah semestinya mampu memicu kekuatan demokrasi. Pemerintahan  yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Demokrasi terkonsolidasi dengan cepat dengan melibatkan partisipasi aktif public dalam memilih kepala pemerintahan dan pilihan yang sesuai dengan harapan rakyat. Setiap partisipan memilih langsung baik berdasarkan pilihan obyektif maupun pilihan subyektif terhadap calon pemimpin.
Pandangan ini merupakan gagasan hidup demokrasi yang boleh jadi menguntngkan pada proses politik dan perkembangan pemerintahan rakyat, tetapi boleh juga pilihan jatuh pada pemimpin yang kurang ideal dalam memimpin. Pilihan langsung ini mampu membuat percepatan konsolidasi demokrasi berjalan optimal dengan prosedur dan ketetapan model pemilihan berdasarkan pada kebijakan public. Demokrasi langsung merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Partisipasi aktif dalam menentukan pilihan memiliki tingkat subyektifitas tinggi dalam memilih calon pasangan pemimpin daerah yang sesuai dengan kultur historis masing-masing daerah. Hal ini tentu mengesampingkan isu-isu nasional. Konsentrasi pada isu daerah sebagai sarana percepatan pembangunan ideal mampu dicapai oleh masing-masing pemimpin daerah. Corak kepemimpinan daerah adalah pilihan yang menarik dalam sosio-politik dengan ukuran kebenaran yang relative.  
Kesesuaian ide sebagai agen moral yang bebas dan menunjukan eksistensi keberaturan dalam kehidupan politik yang merupakan formula berupaya menempatkan tujuan-ujuan moral dalam pembangunan yang holistic. Adalah persoalan-persoalan etik yang diharapkan oleh para partisipasi aktif dalam implikasi imperative pemimpin daerah dalam pembangunan manusia selanjutnya. Kenyataan empiric tentunya merupakan sebuah penagihan janji atas sebuah kekuatan kehidupan demokrasi.
Tujuan pilkada serentak berlandaskan pada asas efisiensi penggunaan dana pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh KPU bahwa dilaksanakannya pemilukada serentak adalah terciptanya efektivitas dan efisiensi. Dengan asumsi pemilihan gubernur, bupati, walikota yang dilaksanakan bersamaan akan menghemat angaran pelaksanaan. Benarkah demikian?
C.    Realitas dalam Perspektif Sosial
Realitas social tidak dapat dikesampingkan, bahwa hasil pilkada tidak dapat digeneralisasi, bahwa pemimpin daerah yang dihasilkan melalui perhelatan mahal demokrasi langsung mampu merefleksikan cita-cita. Kompleksitas pilkada terlihat dengan tingginya kasus sengketa pilkada menunjukan bahwa imperative etik sebuah demokrasi belum tercapai dengan baik.
Persoalan klasik bahwa sebuah demokrasi memerlukan perangkat-perangkat dan motivasi etik dalam tahap pelaksanaan teknis masih belum dapat diaplikasikan dengan baik. Problematika kesiapan sumber daya manusia dalam pelaksanaan dan prosedur umum sebuah demokrasi memerlukan kajian yang mendalam agar etika social pemilu dapat teraplikasi sesuai dengan kultur historis suatu masyarakat yang memerlukan tatanan nilai.  
Pelajaran yang sangat berharga dalam kasus-kasus pilkada adalah pelembagaan penyelenggaraan pemilu yang belum sepenuhnya menggunakan landasan norma dan etika politik. Hal ini tentu bukan hanya terletak pada penyelenggaraan dan penyelenggara pilkada semata, namun kesiapan moral dan mental para partisipan sangat penting, terutama dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan nilai obyektifitas calon yang akan dipilih.
Nilai-nilai etika dalam menentukan pilihan calon pemimpin daerah yang mampu diaplikasikan akan besar menekan pada penyimpangan-penyimpangan etika berpolitik. Tentunya sikap partisipasi aktif menentukan kualitas hasil pilkada dan berefek pada kualitas pemimpin daerah yang terpilih. Demokrasi yang dengan kuat terkonsolidasi melalui pilkada akan dapat terefleksikan dengan positif, yakni menempuh batas terendah penyimpangan dalam hasil pilkada.
Fenomena yang mencuat kepermukaan dalam proses demokrasi ini adalah kemunculan figure-figur popular sebagai pemipin daerah, meski bukan suatu hal yang merusak pada pembangunan daerah tetapi pengenyampingan calon-calon berkualitas dan terbaik namun kurang kompetitif dalam sebuah pertarungan politik menjadi poblematika tersendiri dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi.
Beberapa permasalahan yang muncul dalam proses demokrasi pemilihan langsung pilkada serentak dapat dilihat :
1.      Tingginya sengketa pilkada, baik yang bersumber dari penyimpangan demokrasi maupun kecurigaan kelalaian penyelenggaraan pilkada
2.      Kurang kuatnya isu-isu sentral kepemimpinan dan calon-calon kompetitif di daerah   
3.      Calon pemimpin popular mampu menarik partisipan yang mengenyampingkan kualitas inteletual berbasis kedaerahan
4.      Kurang menyentuh aspek sosio-kultur daerah sebagai basis pembangunan daerah
5.      Kuantitas pemenangan calon kepala daerah menjadi keutamaan bagi partai politik dibandingkan dengan isu lainnya
6.      Realitas pilkada serentak tidak tercapai, disebabkan perangkat penyelenggaraan pilkada oleh KPUD tidak mampu dilaksanakan
7.      Prinsip efektif dan efisien dalam pilkada tidak tercapai, hal ini terbukti dengan membengkaknya anggaran pilkada
8.      Penyeragaman anggaran pilkada tidak dapat dilakukan mengingat kondisi geografis masing-masing daerah berbeda-beda
9.      Kurangnya persiapan pihak penyelenggara pilkada       
 
D.    Kajian Pilkada; Sebuah Perbaikan Masa Depan Demokrasi
Fenomena politik menunjukan adanya gejala-gejala kemandulan disiplin akademis secara intelektual. Keasyikan pada kajian historis sistem demokrasi melupakan teori-teori etis dan melunturkan kebenaran dalam kritisisme, anaisa persoalan-persoalan moral sebagai kebijakan pubik yang seringkali menjadi basi dan dikeluarkan dari obyek-obek politik. Persoalan politik tidak dapat lepas dari dimensi moral dalam sebuah penelitian empiris.
Refleksi mengenai pilkada yang fenomenal serempak 2015 tidak perlu melupakan teori kausalitas demokrasi. Penghilangan makna-makna social perlahan melepaskan kesesuaian sistem kepemimpinan daerah yang pada dasarnya adalah agen-agen moral public dalam eksistens kehidupan politik.  
Beberapa prinsip demokrasi yang hendak dicapai dalam perbaikan pilkada kedepan;
1.      Asas pemilu yang demokratik (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
2.      Hak bebas mengakses informasi calon pemimpin daerahnya;
3.      Integritas; akurat, transparansi dan akuntabel; pemilih dan calon kepala daerah yang akan dipilih clear dari masalah hokum
4.      Demokrasi harus memiliki kepastian hokum; tidak ada kontradiksi antar ketentuan pemilu sepert perbedaan definisi pemilih dalam perundang undangan
5.      Penyelenggara pemilu yang independen
6.      Partisipan tidak berada dalam tekanan politik tertentu

7.      Efektif dan efisien 

REKONTRUKSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Politik Etika dan Keadaban ; Rekontruksi Pemikiran Politik Islam dalam Konteks Keindonesiaan

Perdebatan pemikiran politik Islam di Indonesia belum hendak tuntas sejak bergulirnya reformasi. Kenyataannya adalah terdapatnya kubu yang berbeda dalam menggeneralisir pandangan politik Islam, bahwa Islam terpisah dari negara dan tidak memiliki sangkut paut dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan negara, sementara sisi lain pandangan bahwa Islam semestinya menjadi dasar ideologi negara dan syariat Islam masuk dalam konstitusi negara.
Perdebatan ini kemudian menemukan titik dimana nilai-nilai Islam secara substansi menjadi kerangka dasar nilai etika dan moral berbangsa dan bernegara.  Nilai-nilai Islam dan etis menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi pasca reformasi selaras dengan perkembangan politik Indonesia, penodaan pasca orde baru terkikis dengan sempurna. Deontologis demokrasi sebagai sistim pemerintahan di negara ini merupakan realitas entitas yang tidak dapat dielakan lagi.
Seiring berjalannya waktu, realitas alur pemikiran mengalami penyimpangan. Hal tersebut terlihat dari nihilnya indikasi transisi menuju demokrasi otentik (authentic democracy). Publik mulai mengalami pesimisme terhadap stabilitas politik yang semakin menunjukan kecenderungan yang akibatnya mempengaruhi laju perekonomian nasional yang terus menurun.
Stabilisasi politik nasional sangat krusial dalam mengelola negara. Bertentangan dengan hal itu  kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seolah trial and error dalam membuat sistem pemerintahan yang ideal dalam kultur negara yang plural dan majemuk. Stabilisasi politik beririsan dengan elit politik dimana setiap pemilu tidak melahirkan kebijakan yang etis dan berkeadaban. Kalangan Islam telah terjebak dalam mendefinisikan demokrasi kebebasan berdasarkan syari’at Islam. Elit-elit politisi Islam kurang siap dengan realitas pertempuran ideologi politik nasional, yang pada akhirnya sebuah statement Islam Yes Partai Islam No menjadi produk antítesis terhadap realitas entitas politik Islam yang baru saja lahir.
Deontologis Politik Islam; realitas transisi demokrasi
Deontologis sistem politik pasca reformasi dapat dilihat dari bermunculannya partai-partai politik berideologi Islam, suatu keniscayaan bahwa pemikiran Islam berkembang pesat dengan realitas terlepasnya sumbatan politik ciptaan orde baru. Tekanan politik seolah pudar dan arus demokrasi meluas hampir tiada kendali. Pada perkembangan berikutnya masa-masa kebebasan ini menjadi sebuah transisi dimana seleksi politik tetap berlaku.
Fragmentasi politik mulai melanda partai-partai politik. Semakin tajam dan krusial, aksi-aksi sosial yang menuju kerentanan konflik dan perpecahan bangsa bukan semata dikalangan elit politik semata tetapi melanda masyarakat secara signifikan. Berbagai segmen masyarakat mudah digelincirkan pada sikap a priori dan anarkis. Politik tidak mampu meredam isu disintegrasi bangsa dan kebebasan yang melewati batas kewajaran dan melenyapkan nilai-nilai etika berpolitik. Deontologis politik Islam menjadi bias dan tidak tercapainya kesepakatan makna nilai-nilai luhur dalam meletakan pondasi konstitusi negara.
Ambiguitas politik Islam terus berlangsung meskipun beberapa kebijakan publik mampu dibangun, serta lahirnya beberapa RUU dan kebijakan mengenai penegakan syariat Islam. Memang bukan persoalan yang sederhana, politik Islam tidak lebih dari sebuah reposisi hubungan antara Negara dan Agama. Masa transisi dalam kehidupan berkebangsaan begitu rumit dicari format idealnya, politisi Islam berada diantara dilematik political and social repercussions (politik dan dampak sosial) dan ini tentu memerlukan sebuah rekontruksi dalam menata sistem sosial serta bagaimana politik Islam mampu teraplikasi dalam sejumlah kebijakan publik yang dapat dirasakan bangsa dan negara.
Politik Islam bukan sekadar efek transformasi politik timur tengah (dunia timur) yang selama orde baru terbungkam tetapi refleksi ideal nilai-nilai luhur yang semestinya menjadi pengejawantahan sifat-sifat ilahiyah dalam negara secara holistik, menyeluruh dan berkeadilan sosial. Ini semua adalah PR besar bagi politisi Islam dalam mewujudkan realitas politik secara adil, bukan saja kepada umat Islam melainkan menjadi kearifan dan politik keadaban bagi seluruh warga negara.
Deontologis ini akan menjadi sebuah titik perenungan terhadap sebuah proses politik yang masih sangat belia, perlu keteguhan dan keyakinan yang utuh yakni transformasi nilai-nilai luhur menjadi landasan berpijak dalam pemikiran. Agama bukan lagi komoditi politik yang dipasarkan menjelang pemilu, melainkan tata nilai dan etika politik yang dibangun secara terintegritas, baik partai politik, politisi dan masyarakat penentu atau konstituen.
Deontologis  politik Islam menjadi alat bukti dan antítesis publik terhadap prilaku dan ketidak siapan seperti prilaku berikut ini : 
Ø  Kemerosotan adab politisi Islam, dengan mencuatnya prilaku korup yang berasal dari partai-partai Islam
Ø  Partai politik yang berazas Islam belum mampu menetapkan azas Islam sebagai nilai luhur dalam berpolitik, tetapi masih berorientasi komoditi politik berbasis Islam
Ø  Partai-partai Islam kurang berperan sebagai penyeimbang partai sekular, realita yang nampak parpol Islam berperan menjadi predator kursi-kursi kekuasaan
Ø  Lemah atau minimnya produk perundang-undangan yang berazas Islam dan terpatahkannya beberapa kebijakan publik berbasis Islam disetiap tingkatan pemerintahan
Ø  Anhistoris antara politisi Islam dengan prilaku politik, dua kutub yang bertentangan, sementara ia sebagai politisi Islam dari parpol Islam tetapi nilai-nilai etika keislamannya bias dan kurang dapat dipertanggungjawabkan

Deontologis politik Islam ahistoris dengan pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim, ia  mendefinisikan bahwa politik Islam adalah: Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.


Rekontruksi Pemikiran Politik Islam
Prinsip deontologist ini sejatinya menjadi perenungan bagi kita, bagaimana membangun wacana politik Islam dalam rekontruksi pemikiran yang berkesesuaian dengan realitas demokrasi di Indonesia. Pasca reformasi terjadi perdebatan panjang mengenai pemikiran Islam dalam konteks politik. Prinsip integrasi nilai-nilai Ilahiah secara serius dan aplikatif dalam kebijakan public adalah salah satu prinsip dasar dalam menjawab deontologist politik Islam yang selama ini masih bias.
Masa depan Negara dengan segala karakteristik kepluralan, kemajemukan dan problematika disintegrasi dan mencuatnya kelompok separatis yang tidak lepas dari konteks politik nasional adalah tanggungjawab moral bagi politik Islam. Tentu bukan sekadar wacana bahwa Islam dengan prinsip universalitas, sejatinya mampu mewadahi setiap warna perbedaan di dalam Negara super majemuk ini. Konteks politik dalam pemikiran pasca reformasi perlu dibangun menjadi sebuah paradigma yang ideal, holistic, plural dan berlandas azas nilai ruhani.  
Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam arah paradigm merekonstruksi pemikiran politik Islam melalui beberapa prinsip :
1.      Prinsip moral; holistisisme etika politik dan prilaku politisi
2.      Prinsip integrasi; nilai-nilai luhur dalam produk perundangan tanpa radikalisasi serta menerapkan nilai-nilai humanistic Islam
3.      Prinsip pluralism; konsep pluralism tidak bisa dinafikan, Islam adalah konsep universal yang menaungi setiap warna perbedaan. Islam bukan penyeragaman tetapi unity in universality
4.      Prinsip nilai; nilai-nilai etis dan keteladanan adalah landasan ideal politik yang dibangun dengan pendekatan humanistik
5.      Prinsip pragmatis; prinsip kebermanfaatan secara adil, kebijakan public bukan semata keberpihakan kepada umat Islam melainkan menciptakan peradaban yang etis bagi seluruh bangsa Indonesia, tanpa mengkotak-kotakan

            Politik Islam membangun peradaban etis yang  berlandaskan nilai-nilai moral universal, berkarakter khas Indonesia. Meskipun hal tersebut bukan pemikiran baru, perlu kita merenungi setiap periode dimana Islam menjadi antithesis dalam kancah politik nasional. Rekontruksi pemikiran, bukan harus meletakan dasar pemikiran baru yang sama sekali berbeda, tetapi perenungan atas kekeliruan yang dicatat sejarah telah gagalnya kontruksi politik Islam dalam membangun Negara.  
            Setiap problem dan penyimpangan-penyimpangan etis yang dilakukan merupakan sebuah proses demokrasi dan  Islam berada didalamnya, turut membangun negeri, menciptakan peradaban baru pasca orde baru. Kini saatnya rekonstruksi kita bangun berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris dalam proses demokrasi.

            Dengan memperhatikan lima prinsip diatas Rekontruksi Pemikiran Politik  Islam mencoba dibangun kembali dalam sebuah wacana politik menuju idealitas sistem social dengan mengacu pada sebuah model, yaitu Politik Etika dan Keadaban ; Rekontruksi Pemikiran Politik Islam dalam Kontek Keindonesiaan