Entah harus
darimana memulai tulisan ini. Berkelindan dan gerak memutar tiada berhenti inti
permasalahan yang nyaris tidak begitu jelas. Berbagai diskusi digelar tiada
berkesudah, namun menguap tanpa mampu dibendung. Entah kemana larinya hasil dan
simpulan diskusi dari meja ke meja. Berbagai tema diskusi digelar dengan
hebanya, namun entah seperti apa proses pengejawantahan ilmu pengetahuan
sehingga masyarakat tidak merasakan efek domino dari berkembangnya ilmu
pengetahuan.
Ada
pertanyaan yang sangat mendasar mengenai pengembangan ilmu pengetahuan yang
disebut-sebut dengan megahnya oleh para intelektual. Pengembangan secara
tertulis di atas kertas dengan angka-angka atau huruf-huruf namun dalam roda
perkembangan di dalam sosial masyarakat seolah tidak menemukan titik terang,
kebuntuan yang menyelimuti setiap gerak.
Setiap
bidang dapat diamati dengan seksama, ekonomi dan perdagangan, pendidikan,
kesehatan, pelayanan public, pertanian dan peternakan, media cetak dan
jurnalistik bahkan informasi media elektronik tidaklah beranjak dari ketidak
berdayaannya. Seolah system sosial mengalami stagnansi bahkan mengalam
kemunduran jauh beberapa langkah ke belakang setelah apa yang dicapai selama
ini.
Kemunduran
secara ekonomi kasat mata dapat diamati dalam situasi lingkungan dan hangatnya
media menyoroti problematika ekonomi dari hari ke hari. Berita diturunkan
secara simpang siur bak sebuah puzzle yang berupa kepingan bentuk-bentuk
tertentu. Kelangkaan produksi, sulitnya pencari kerja bukan saja karena dunia
industry tidak bertumbuh atau bahkan gulung tikar, melainkan tenaga terampil
yang teramat sulit didapatkan. Tenaga-tenaga pencari kerja tidak dibekali
dengan keterampilan dan kecakapan vokasional, melainkan tenaga buruh kasar. Para
buruh kasar kerja serabutan tidak mengenal jenjang pendidikan formal, yang
berpendidikan atau lulusan pendidikan formal tidak mampu bekerja dengan basis
dasar tenaga terampil. Demikian pula yang tidak sekolah, tidak mampu memiliki
keterampilan yang mampu menempatkan dirinya menjadi seorang karyawan.
Persoalan
tersebut tidak hanya terpaku pada persoalan kecil dan parsial semata. Di
perkotaan dan di perdesaan ekonomi tidak tumbuh dengan merata. Kemampuan sosial
penduduk tidak mampu digiring dengan paksa dengan istilah percepatan ekonomi
yang seringkali digembar-gemborkan oleh beberapa kementrian yang menaungi
pertumbuhsn ekonomi nasional.
Persoalan-persoalan particular seperti kemiskinan, kemerosotan ekonomi,
kurangnya tenaga terampil serta persoalan
hulu-hilir yang saling berkelindan menjadi persoalan rumit tidak mampu
dicarikan solusi pemecahannya secara bijak dan cepat.
Istilah
ekonomi kreatif yang disebut-sebut untuk menyiapkan MEA sejauh ini belum
menunjukan arah yang menggembirakan. Masyarakat menunggu berbagai kebijakan dan
bersiap melaksanakan setiap kebijakan yang katanya demi mengupayakan
pertumbuhan ekonomi sebagai dasar pemenuhan hajat hidup untuk dapat mencukupi
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Namun berita demi berita yang disampaikan
rupanya masih berupa angin surga. Betapa sulitnya membangun sebuah usaha
berbasis kekuatan ekonomi, sangat rumit dan memerlukan tenaga yang ektra kuat,
baik secara fisik maupun mental.
Persoalan
ekonomi tidaklah semata-mata berada di bidang perdagangan dan keterampilan para
pelakunya, yang sangat bergantung pada kemampuan penguasaan ekonomi mikro dan
makro. Namun setiap hal yang berkegiatan dapat dipastikan memiliki hubungan
yang langsung maupun tidak langsung dengan pertumbuhan sector ekonomi. Ekonomi
adalah dasar kehidupan setiap individu. Ketika individu-individu tidak mampu
bergerak dalam bidang ini, problematika sosial akan menjadi sasaran permasalahan
dan persoalan berikutnya. Sektor-sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan,
pelayanan public, dan bidang-bidang lain berkorelasi dengan permasalahan
ekonomi secara utuh. Ekonomi memacu gerakan sosial politik, ekonomi memacu
pertumbuhan ilmu pengetahuan, ekonomi menggiring pada ketentraman, ekonomi
membawa pada perubahan-perubahan secara sosial dan politik. Dalam kondisi
normal, posisi penting perekonomian baik bagi individu-individu maupun
masyarakat menjadi pemantik damai tidaknya sebuah system sosial.
Logika terbalik dan
doktrin sesat
Kondisi
terbalik dapat kita amati pada mekanisme system yang kini keberlakuannya sangat
dipaksakan para alim penguasa. Lihat saja konsep pendidikan yang terlalu
melangit, pendidikan memiliki tujuan mencerdaskan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti yang luhur, memiliki
ilmu pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Logikanya,
bagaimana mencapai tujuan tersebut dengan anggaran pendidikan yang minim, belum
lagi minimnya anggaran yang dikorupsi oleh oknum-oknum dari setiap
masing-masing tingkatan mulai dari kementrian pusat sampai tingkat satuan
pendidikan? Lalu bagaimana SDM berupa tenaga pendidik dan kependidikan yang
rendah? Bagaimana para tenaga pendidik tersebut mampu mengejawantahkan tujuan
pendidikan yang super hebat dengan perangkat dan komponen pendidikan yang
sangat terbatas? Bagaimana system pendidikan yang teramat simpang siur dan
bongkar pasang diterapkan pada tingkat pelaksana teknis pada satuan tingkat
pendidikan? Bagaimana para pejuang pendidikan mampu berperang di medan laga
ketika mereka tidak dibekali amunisi yang cukup, meski hanya sekedar menjaga kebugaran
fisik dalam menjalankan tugasnya? Lalu bagaimana status bagi para pejuang
pendidikan tersebut ketika system tidak memberikan pengakuan status kepada
mereka, berupa SK pengangkatan Guru dan Dosen, atau tenaga kependidikan? Apa
yang harus dilakukan para pejuang pendidikan ketika mereka diintimidasi dengan
peraturan tidak boleh keras dalam mengajar, harus memberikan kebebasan kepada
para siswa, memperketat peraturan sekolah bagi pelajar, ketetapan yang mengikat
namun merugikan bagi guru dan siswa dalam pelaksanaan proses belajar, serta
kesibukan administrative yang melimpah sehingga menguras tenaga dan fikiran
sehingga berakibat lalai terhadap para siswa.
Para
pendidik dan tenaga kependidikan seperti obyek dungu yang mudahnya dipermainkan
dengan payung hukum yang tidak berpihak pada mereka. Aturan yang dibuat bak
ketoprak humor dan doktrin sesat berkepanjangan. Tengok saja persyaratan
administrasi yang meribet terkait dengan upah baik status PNS atau sertifikasi.
Aturan yang gampang berubah serta ketidakjelasan. Kurikulum seperti sampah dan
tumpang tindih satu dengan lainnya serta doktrin sesat semacam ideology, berupa
nasihat dan kampanye perjuangan
berupa istilah ibadah bagi para
pejuang sebagai hiburan dan pengalihan atas tunturan hak bagi mereka.
Semua
persoalan itu saling berkait, membuat kelindan tiada henti, ditambah campur
tangan para lintah penghisap berupa oknum yang memanfaatkan rendahnya SDM para
pelaksana pendidikan, baik mereka berasal dari instansi terkait ataupun berasal
dari instansi gurem.
Persoalan
ini seperti benang kusut, tidak ada tindakan penyelesaian yang mampu
menghentikan atau bahkan hanya meminimalisir persoalan lainnya. Seperti sebuah
candu, solusi diberikan demi menyelesaikan problematika pendidikan, namun sisi
lain menambah atau bahkan membuat persoalan baru di sisi yang lain. Ibarat
sebuah pakaian terlalu banyak tambal sulam di setiap bagiannya. Sehingga
rencana hebat yang diungkapkan dalam tujuan super hebat dalam sebuah undang
undang, hanya menghasilkan sebuah pakaian yang compang camping. Penuh tambalan
disana sini, buruk rupa dan nyaris tidak dapat digunakan di setiap moment.
Analogi
gagalnya pendidikan yang diibaratkan seperti sebuah pakaian yang compang
camping, dapat kita amati pada produktifitas lulusan pendidikan formal. Berapa
banyakah para lulusan sekolah yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi yang penuh dengan integritas, kejujuran, keyakinan dan rasa
percaya diri, mampu bersaing dan kompetitif dalam mencapai prestasi, mampu
menunjukan akhlak yang mulia serta bertanggungjawab sebagai seorang pembelajar?
Kita dapat
dengan mudahnya mengamati dan mengobservasi siswa-siswa dan mahasiswa yang
kurang serius dalam proses belajar, praktek instanisasi belajar berupa copy
paste atau goggling, ketidakmampuan menggunakan media teknologi sebagai produk
bebas nilai, alias salah kaprah penggunaan media dan teknologi. Atau betapa
mudahnya lulus menjadi sarjana, baik kualitas pendidikan maupun kuantitas
proses belajar mengajar.
Dunia
industry dan dunia usaha tidak mampu menyerap lulusan baik sarjana atau non
sarjana. Sehingga jumlah pencari kerja dan angka pengangguran usia produktif
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Para sarjana banting setir menjadi buruh
kasar, pekerja non formal serta sebagiannya lagi bekerja tidak sesuai dengan
konsentrasi pendidikan yang ditempuh. Dunia industry hanya memberi ruang sempit
berupa tenaga teknis dan bukan pada posisi tenaga ahli. Kalaupun berhasil
memasuki dunia usaha dan memperoleh jabatan strategis hanya mampu menempati
posisi menengah, sedang posisi strategis penting dalam menentukan arah
kebijakan perusahaan hingga pemegang saham dikuasai lulusan asing, bahkan orang
asing. Dan gilanya mereka cukup bangga menempati posisi tengah dan menjadi
budak asing, yang setiap kebijakan usaha seringkali melawan ketetapan
pemerintah. Ibarat kata, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, berupa hak yang
sebesar-besarnya atas keuntungan yang diperoleh dalam usaha bahkan kalau bisa
tidak membayar sekalipun jatah untuk Negara ini, sementara penetapan upah yang
rendah bagi anak negeri, sementara penghormatan yang setinggi-tingginya bagi
asing yang notabene tamu di negeri sendiri. Dan hal ini dimuluskan dengan
kebijakan-kebijakan keliru dan tidak berpihak, yang tidak lain dan tidak bukan
sangat rendahnya SDM kita. Sehingga tidak masuk pada zona berganing malah malah
menjadi kuli dirumah sendiri. Tengok saja pada setiap kantor-kantor perusahaan
asing, mulai menejer menengah, staf hingga OB diisi anak-anak negeri, sementara
menejer tengah hingga dewan direksi dan pemegang saham adalah orang-orang
asing.
Hinakah
pemerintah menyaksikan kenyataan itu? Pertanyaan yang tabu dilontarkan para
pengkritik kepada pemerintah yang gagal melindungi rakyat dari kebodohan
melalui system pendidikan. Mana mungkin pakaian yang compang camping dapat
dipakai dalam sebuah pesta? Jika ada yang berani memakainya maka pastilah
dianggap sebagai pengemis kotor, yang hanya akan mengotori suasana pesta. Si
pemakai pakaian butut yang compang camping tentu saja akan merasa minder dan
tidak mungkin masuk dalam pesta yang di gelar. Dia tidak akan berani bergabung,
kecuali hanya orang gila saja yang dengan keluguannya memunguti sisa-sia
makanan dari piring kotor bekas mereka.
Kesadaran
diri akan pakaiannya yang compang camping tersebut, akan membuat sikap
defensive dan keluar dari lingkaran. Dia tidak akan memaksakan diri bergaul dan
bergabung dengan para peserta pesta tersebut.
Sehebat-hebatnya ia akan merapihkan pakaian compang camping tersebut
sebisa mungkin agar layak di pakai. Dengan sedikit bekal, ia kan merapikan
pakaiannya setidaknya agak pantas dikenakan.
Nah, itulah
sebuah kesadaran seseorang yang dibesarkan oleh system pendidikan yang tidak
jelas, antara rencana dan pola yang ditetapkan. Sehingga berusaha sekuat tenaga
agar dapat masuk dalam arena pesta, agar dapat mengambil bagian meskipun bagian
yang sangat kecil. Tetapi lebih besar dari itu mereka terlempar dari arena
pesta dan keluar dari lingkaran. Demi untuk sekedar bertahan hidup, bekerjalah
ia serabutan dan tidak memilik kejelasan masa depan.
Pesta, ibarat arena perekonomian yang
memiliki syarat-syarat yang kompetitif dan kelayakan di dalamnya. Barang siapa
yang memiliki pakaian yang terindah maka ia akan menjadi ratu di dalam pesta
tersebut. Pakaian yang bukan hanya indah tetapi juga berkualitas dan berkelas.
Pesta, yang digelar di negeri ini tidak mampu diikuti anak negeri yang
menggunakan pakaian compang camping. Mereka yang memiiki kesempatan belajar ke
luar negeri, bisa mendapatkan kesempatan berlaga dipesta tersebut. Namun bagi
yang tidak mampu dalam sisi materi tentunya tidak mungkin dapat memiliki
pakaian dari luar negeri. Dan ia akan membeli dan memakai pakaian pendidikan
dalam negeri yang buruk rupa dan tidak layak pakai.
Analogi itu
dapat kita saksikan setelah sekian puluh tahun mengamati system pendidikan yang
setiap periode pergantian menteri bukan bertambah lebih baik melainkan lebih
buruk. Mengapa? Tidak ada satu menteripun yang mampu membuat pola pakaian
dengan tepat sesuai adat budaya, tradisi, cita rasa, aroma serta autentisitas
negeri ini menjadi dasar pilosofis, dasar pemikiran yang dijadikan landasan dari
pembuatan pola serta mencari perangkat dan komponen-komponen yang tepat dalam
menyelesaikan pola. Mendesain system yang disesuaikan dengan aroma dan cita
rasa dan karakte bangsa. Tentunya seperti sebuah pabrik konveksi, di setiap
bagiannya ada pelaksana teknis dan pengontrol, dikerjakan bersama dengan kompak
dan para pengontrol masing-masing bagian bekerja sama agar hasil dari
masing-masing bagian dapat digabungkan sati dengan yang lainnya. Misalnya
bagian penjahit lengan, mesti kompak denga kerjasama yang apik dengan para
pengontrol penjahit bagian tubuh dan kerah, baik yang bagian kanan ataupun
kiri. Para pengontrol mengawasi hasil jahitan masing-masing bagian agar rapi
dan tidak mengalami kesalahan patal. Setiap bagian yang sudah dijahit dan
disatukan dengan masing-masing bagian yang lain agar menjadi sebuah produk
berupa pakaian yang sesuai dengan pola.
Kesesuaian
dikontrol dengan kualitas yang sudah dideteksi bidikan dan sasaran jual dan
pemasarannya. Jika produk pakaian itu baik model dan kualitas yang dipasarkan
tersebut mampu bersaing dengan produk-produk lainnya yang sejenis dengan
berbagai keunggulan, baik keunggulan berupa model maupun kualitas, maka produk
tersebut tentunya tidak akan kalah bersaing dengan produsen lainnya.
Analogi itu
tentunya mudah dipahami bukan? Bukti dari kegagalan pemerintah dalam memberikan
harga diri berupa pakaian yang layak dipakai atau bersaing di kancah
perekonomian dapat kita lihat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
terdidik dan terampil. Sehingga banyak yang berguguran dalam kompetisi
membangun usaha secara formal dan elit. Tersingkir dari kompetisi ekonomi
secara nasional, tentunya sudah barang tentu tidak akan masuk pada kancah
internasional. Meskipun lahi bentuk-bentk pendidikan non formal tidak ubahnya
sebagai bentuk pelarian atas kegagalan dalam kancah kompetisi yang sesungguhnya.
Paa sarjana banting setir atau balik arah membuat kreatifitas ang sebenarnya
tidak keatif atau bahkan dapat disebut sebagai bentuk protes kasar terhadap
kebijakan makro.
Harapan demi
harapan bertumpuk pada menteri pendidikan pada setiap pergantian pemerintah
hasil pemilu agar mampu membuat pola baru dalam dunia pembentuk sumber daya
manusia sebagaimana amanah unang-undang dasar 45, namun tak urung harapan
musnah terbawa angin dan isu perubahan yang melangit tanpa dasar. Permasalahan
demi permasalahan berputar tiada henti, pasang-rombak tidak menyelesaikan
masalah, malahan semakin membuat lebih tidak layaknya hasil pendidikan bagi
anak-anak bangsanya. Lagi-lagi doktrin sesat yang menggunakan alat agama dan
budaya untuk menina bobokan para penuntut perubahan system sosial menjadi
sejata pamungkas yang sadar dan tidak sadar semakin melenggangkan penguasaan
asing di negeri ini lewat perekonomian dengan memanfaatkan gagalnya pembentukan
SDM.
Kesejahteraan
ekonomi terus menjadi mimpi tak berkesudahan. Harapan dan impian hanya sebuah
ilusi tak bertepi, kemana anak bangsa mengadu? Kemana anak bangsa meminta
perlindungan atas hak-haknya mendapatkan kehidupan yang sejahtera di rumahnya
sendiri? Gagalnya system pendidikan adalah bukti ungkapan pendiri bangsa ini,
bahwa bamhsaku akan menjadi bangsa buruh diantara bangsa-bangsa. Tak cukupkah
itu membuat kesadaran dan keberanian mengatakan bahwa Negara ini telah gagal
melindungi rakyatnya dari segenap tumpah darah Indonesia? Malukah mengakui
bahwa pemerintah telah gagal dalam menghantarkan rakyatnya kedepan pintu
gerbang kemerdekaan Indonesia? Malukah mengakui kenyataan ini? Lalu membuat
berbagai macam alibi dan pembelaan serta pembenaran yang pada akhirnya menuai
pertikaian? Menepis kritik dengan pembenaran yang keliru hanya karea keegoisan
semata? Berkelindanlah masalah demi masalah tanpa ujung penyelesaian.
Berlayarlah kapal negeri bernama Indonesia ke tengah samudera tanpa tujuan dan
tanpa perangkat perlindungan dan peralatan untuk penyelamatan. Kapal besar terbawa
kemana saja angin membawa, sementara
para penumpangnya bertengkar tanpa memperhitungkan berapa lama lagi kapal ini
mampu bertahan ditengah besarnya gelombang samudera. Sementara para penumpang
ada yang tertidur, bermain game, bercanda, bergurau sampai berkelahi,
sebagiannya lagi melubangi kapal dan air masuk kedalamnya. Dan sebagian kecil
dari para penumpang itu resah dengan kenyataan yang ada, mencoba mengajak
diskusi untuk penyelamatan, sementara pemegang kemudi dan petugas strategis
sibuk dengan pakaian dan dagelan-dagelan konyol. ***