Eneng Humaeroh
Kelas : Filsafat
Semester : 3
Lecture : Dr. Kholid al Walid
The Islamic College Jakarta
2010
RESUME
TENTANG JIWA
Jiwa menurut Ar Razi
Manusia kedudukannya berbeda
dengan mahkluk yang lain, jiwa manusia memiliki korelasi dengan tubuh. Substansi
jiwa itu tunggal yang terpisah dengan tubuh, jiwa mempengaruhi tubuh sehingga jiwa memiliki nafsu amarah sehingga
atribut tubuh adalah pribadi tunggal.
Substansi jiwa menurut Ar Razi
bahwa jiwa selain memiliki struktur indrawi eksternal ia adalah tunggal yang
terdiri atas entitas , esensi dan realitas.
Jiwa memiliki nafsu, Ar Razi memberikan argument
bahwa :
-
tubuh adalah substansi yang berkembang
membutuhkan nutrisi, tubuh mengalami reduksi dan emaciation.
-
Jiwa mengalami perubahan sebagaimana tubuh dan berkembang
-
Jiwa menerima bentuk dan suksesi, tetap dan tidak
mengalami perubahan, jiwa memiliki kemampuan menerima bentuk yang lain padatubuh hal itu termenifestasi pada tubuh manusia yang memiliki kemampuan
yang ditunjukan dengan pemahaman atau kemampuan sehingga jiwa lebih kuat.
-
Jiwa menciptakan dunia potensial menuju dunia
actual, menciptakan persepsi dan komprhensi
-
Jiwa mendominasi atas tubuh dan menampilkan
emasiasi
Eksistensi manusia bila
dibandingkan dengan makhluk yang lain, hal ini berdasarkan argument :
-
Manusia dalam eksistensinya adalah jenis yang
memiliki kapasitas berfikir dengan intelek dan juga hikmah, juga memiliki sifat dasar dan syahwat.
-
Ketika manusia telah mampu mengatasi kesulitan
atau kegelapan manusia alkan
mencapai harapan menuju cahaya, manusia
akan mampu merasakan kenikmatan yang sangat berbeda degan kenikmatan yang
terlihat dan terdengar sebelumnya.
-
Capaian manusia pada tahap kerinduan untuk mendatangi Allah harus menempuh jarak
dan mengerahkan kekuatan yang besar untuk meninggalkan keadaan semula, sehingga mampu
merasakan penderitaan dan kebahagiaan
pada tahap yang dibutuhkan.
-
Manusia berbeda dengan malaikat, karena pada diri
manusian terdapat keinginan yakni kemampuan pengetahuan Illahi dalam mencapai
tingkatan ma’rifat (Gnostic).
-
Jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada
kebahagiaan spiritual
-
Manusia memiliki kemampuan menunjukan keadaan
yang saling bertentangan, suatu eksistensi yang dominan dan hikmah yang tidak
terbatas.
-
Manusia memiliki otoritas dan kekuasaan atas
nilai temporal pada suatu batasan, tetapi keinginan manusia mendapatkan
kekuasaan atas intelek, pengetahuan
adalah suatu kenikmatan yang tidak terbatas
-
Prilaku manusia yang berderajat tidak dibuktikan
dengan kesenangan jasmaniah melainkan pada keluhuran budi pekerti dan
intelektual yang tinggi
Jiwa menurut Ibnu sina
Pemkiran tentang jiwa berangkat dari pemikiran tentang Tuhan
kemudian timbul akal - akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa
manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1. Segi fisika (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia).
Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan
pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2. Segi metafisika (wujud dan hakikat
jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa)
Jiwa menurut Ibnu Sina ada tiga bahagian :
a.
Jiwa tumbuh – tumbuhan (nutrition, tumbuh dan
berkembang biak)
b.
Jiwa binatang (gerak, menangkap, indera, representasi, imaginasi,
estimasi, rekoleksi)
c.
Jiwa manusia (Akal materiil, Intelectual in habits, Akal actuil, Akal
mustafad)
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari
ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada
dirinya.
Jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri
dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap
kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh
pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak
berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa
masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong
jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Jiwa menurut Al-Kindi
Al-Kindi
menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak, jiwa itu sederhana tidak tersusun atau basithah, mulia, sempurna dan
penting. Sebtansinya (jauhar) berasal dari subtansi Tuhan, seperti sinar
berasal dari matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri dan lain dari badan. Sebagai
bukti ini Al-Kindi mengemukakan bahwa kenyataan jiwa menentang keinginan nafsu
yang berorientasi bagi kepentingan badan. Jika perlu sesuatu waktu marah
mendorong manusia untuk berbuat sesuatu, maka jiwa akan melarang dan
mengontrolnya, seperti penunggang kuda yang hendak menerjang terjang. Jika
nafsu syahwat muncul kepermukaan, maka jika akan berpikir bahwa ajakan syahwat
itu salah dan membawa pada keerendahan, pada saat itu jiwa akan menentang dan
melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa itu lain dari nafsu yang dimiliki
badan.
Menurut
Al-Kindi jiwa manusia itu memmpunyai
tiga daya, yaitu daya berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), daya marah (al-quwwah
al-ghadhabiyah), dan daya syahwat *al-quwwah al-syahwaniyah). Daya berpikir itu
disebut akal.
Akal
terdiri dati tiga tingkat :
·
Akal
yang masih bersifat potensial (al-quwwah)
·
Akal
yang telah keluar dari sifat potensial menjadi akatual (Al-Fi’I)
·
Akal
yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany)
Akal
yang bersifat potensial tidak akan menjadi actual jika tidak ada kekuatan yang
menggerakkannya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri di luar jiwa
manusia. Akal tersebut adalah akal yang selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi
al-fi’I abadan), dan ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
·
Ia
merupakan Akal Pertama
·
Ia
selamanya dalam aktualitas
·
merupakan
species dan genus
·
Ia
membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
·
Ia tidak
sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.
Jiwa itu
kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan. Jiwa tidak hancur karena
subtansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia tidak boleh
kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Baru setelah ia
berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk
pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, jiwa pergi ke Alam
Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a- haq, al-‘alam al-aql) didalam lingkungan
cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Tempat inilah
kebahagiaan abadi yang akan dirasakan pleh jiwa yang suci.
Jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan langsung masuk ke Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri. Mula-mula jiwa bermukim di Bulan, kemudian di Mercuri dan terus ke Falak yang lebih tinggi lagi guna pembersihannya setahap demi setahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran atau Alam Kekal.
Jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan langsung masuk ke Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk membersihkan diri. Mula-mula jiwa bermukim di Bulan, kemudian di Mercuri dan terus ke Falak yang lebih tinggi lagi guna pembersihannya setahap demi setahap. Setelah jiwa benar-benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran atau Alam Kekal.
Jiwa menurut Mulla Sadra
Jiwa menurut
Mulla Sadra merupakan gambaran dari “Substansi yang secara zatnya non-materi
akan tetapi terikat dengan materi dalam aktivitasnya”
Mulla Sadra memberikan bukti bagi keberadaan jiwa dengan mengemukakan tiga bentuk argumentasi ;
Mulla Sadra memberikan bukti bagi keberadaan jiwa dengan mengemukakan tiga bentuk argumentasi ;
a. Wujud mumkin (Imkan al-Asryaf wa
‘Adam Abatsiah Khalq al-Mumkinat).
Argumentasi Mulla Sadra ingin menunjukkan bahwa Allah SWT ketika
menciptakan makhluk-makhluknya memulai dari penciptaan zat yang paling utama
dan paling sempurna. Kualitas dirinya menjadi tidak terbatas karena diciptakan
dari sumber penciptaan dan merupakan
ciptaan pertama, kemudian kualitas yang berada di bawahnya yang memiliki
kesamaan dengan yang pertama dalam kesempurnaan dan demikian seterusnya sampai
pada tingkat yang paling rendah yaitu wujud mumkin yang berada pada batasan
aktualisasi potensi menjadi aktual dan memunculkan bentuk-bentuk kehidupan
serta memunculkan efek-efek instinktif.
b. Munculnya efek dari materi (Sudur al-Atsar an al-Ajsam)
Argumentasi ini di dasarkan pada
efek yang muncul dari forma-forma materi tanpa adanya intervensi luar maupun
keinginan untuk menghadirkannya. Sebagai contoh ; apa yang terjadi pada indra,
bahwa indra mempersepsi apa yang ada disekitarnya dengan sendirinya, atau
gerakan yang terjadi, perkembangan maupun pertumbuhan atau melahirkan jenis
yang semisal dengan dirinya. Bagi Mulla Sadra hal ini tidak mungkin hadir dari
materi sekalipun materi pertama, karena materi utama hanyalah sebagai reseptif
secara mutlak tanpa adanya kemungkinan baginya untuk melakukan aktivitas
apalagi mengeluarkan efek. Karenanya bagi Mulla Sadra efek-efek yang terjadi
pada bentuk materi diatas pastilah berasal dari sesuatu yang lain selain dari
materi dan itulah jiwa.
c.
Kehidupan adalah Jiwa (al-Hayah
hiya al-Nafs)
Argumentasi ketiga yang dikemukakan
Mulla Sadra adalah argumentasi kehidupan. Ketika kita menyaksikan berbagai
makhluk memiliki indra dan mempersepsi gambaran sesuatu kita mengetahui bahwa
makhluk tersebut hidup. Indra dan kemampuan untuk mempersepsi objek berasal di
antara tiga kemungkinan : pertama, sumber utama yaitu jiwa. Kedua, fisik yang
memiliki jiwa. Ketiga, fisik.
Substansial
Jiwa
Substansi merupakan gambaran dari
sesuatu yang “Jika ada secara eksternal tidak bergantung pada lokus dan tidak
membutuhkannya dalam wujudnya. Sedangkan Aksiden
merupakan gambaran dari jika “Ada secara eksternal keberadaannya bergantung
pada lokus dan tidak membutuhkannya dalam wujudnya” (Iza wujiddat fi al-Kharij
wujidat fi Maudhu’ mustaghni anha fi wujudihi).
Keberadaan
substansi adalah keberadaan yang independen dalam pengertian bahwa keberadaannya
di luar tidaklah menempel atau bergantung kepada keberadaan yang lain bahkan
dirinya menjadi lokus bagi keberadaan aksiden, sedangkan genus yang ada di
atasnya adalah sesuatu yang tidak mungkin lagi didefinisikan, substansi
merupakan bagian tertinggi dari rangkaian genus yang dapat diketahui. Persoalan
kemudian apakah jiwa merupakan substansi ataukah masuk dalam kategori aksiden,
jika jiwa masuk dalam kategori aksiden maka ada sesuatu yang lain yang menjadi
hakikat diri manusia sebagai lokus bagi raga manusia. Beberapa argumentasi
berikut memberikan bukti akan substansial jiwa, diantara argumentasi tersebut
antara lain :
a. Beragam efek yang keluar seperti
tumbuh, bergerak dan sebagainya dari beragam makhluk, baik itu tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia bukanlah disebabkan oleh sesuatu yang berada diluar dirinya
akan tetapi berasal dari diri makhluk tersebut sendiri. Diri yang dimaksud
bukanlah raga materi karena jika demikian maka seluruh raga akan mengeluarkan
efek eksternal karenanya bahwa sumber efek tersebut tidak lain adalah jiwa.
b. Mulla Sadra membuktikan substansial
jiwa melalui ilmu huduri. Penjelasan tentang hal tersebut sebagai berikut :
Persepsi terhadap sesuatu adalah sampainya forma objek pada diri subjek. Jika
subjek mempersepsi dirinya sendiri maka pastilah ketika persepsi tersebut
terjadi, dia tidak membutuhkan ruang tertentu (sebagai media bagi munculnya
diri sebagai objek persepsi) akan tetapi berdiri pada dirinya sendiri. Jika
persepsi terjadi pada ruang tertentu maka forma dirinya tidak akan hadir pada
dirinya sendiri akan tetapi hadir pada ruang tersebut karena keberadaan objek
yang menempati pasti selalu terikat pada ruang yang ditempati dan ini
bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan.