Judul Buku : Bhagawadgita
Hikmah Kearifan Hidup Anak Manusia
Penulis : S. Radhakrishnan
Penerjemah : Yudhi Murtanto
Editor : Abdul Aziz Sukarno, dkk.,
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 240 hal
Mata Kuliah : Misticysm Philosophy
Oleh : Eneng Humaeroh
Filsafat, Smt 2
Islamic College Jakarta, 2011
Tentang Bhagawadgita
Bhagawadgita, dianggap sebagai kitab suci oleh umat Hindu di India selama berabad-abad, kitab yang merupakan ajaran kehidupan dan kebijaksanaan yang menceritakan kearifan sikap seorang Arjuna dalam menghadapi peperangan melawan saudaranya sendiri.
Gita bukan merupakan suatu karya esoteric melainkan puisi popular yang membantu pengembaraan di wilayah yang jamak dan berubah-ubah. Ajaran Gita terjadi sebagai tradisi yang lahir dari kehidupan religius, universal serta prinsip-prinsip keyakinan yang didasarkan pada fakta, ilmiah dan imajinasi logis.Gita mempersatukan semua kisah awal dan formulasi elemen yang hidup dalam kehidupan dan pikiran agama Hindu menjadi satu kesatuan organik. Ia adalah presentasi kitab-kitab Upanisad dan formulasi filsafat dalam sutra.
Secara eksplisit bhagawadgita tidak diketahui siapa pencipta kitab ini sebelumnya. Namun berabad-abad digunakan sebagai kitab-kitab Upanisad, kitab ini cukup logis dicerna para pembaca, dan dapat dijadikan referensi suatu sikap kebijaksanaan dan sifat-sifat Ilahi jiwa manusia, kitab ini memuat tentang kiah pertemburan jiwa yang saling bertentangan, jiwa yang saling menguasai antara kebaikan dan keburukan, kesedihan dan kesenangan serta penguasaan diri terhadap diri sehingga diri dapat menguasai sifat-sifat buruk yang selalu berjuang mengalahkan kebaikan.
Bhagawadgita, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, dan mampu menyampaikan isi pesan yang pada dasarnya tidak satupun karya terjemahan yang mampu mengungkapkan pesan sesungguhnya yakni keluhuran budi dan berkat Gita yang orisinil. Sehingga beberapa teks tetap diungkapkan secara orisinil lagu dan frasenya agar nuansa Gita tetap utuh. Buku ini juga dilengkapi dengan esai pengantar, catatan-catatan penunjang penguat pesan Gita, serta keaslian teks sansekerta, dengan begitu orisinalitas Gita tetap terasa.
Bhagawadgita, dan Pesan Ajaran kitab
Bhagawadgita mengajarkan tentang jiwa-jiwa yang lepas dari keinginan-keinginan atau kedunguan; kebutaan sepiritual. Akar keinginan (avidya) adalah hasrat atau nafsu pada keyakinan yang dungu, kemandirian yang menghubungkannya dengan realitas, membuat hidup tak bisa menghindari pemuasan keinginan (fana) belenggu itu mengikat dan jalan pembebasan dirai adalah kebijaksaan (avidya). Kebenaran abadi, teguh tidak memihak, cinta, abadi, keindahan kesucian yang diperjuangan oleh keluhuran budi, sifat-sifat ini dikombinasikan Tuhan dalam dirinya sendiri. Gita menempatkan dualisme purusa (diri) dengan prakrti (non diri). Diri adalah entitas permanen, unik, integral, prinsip murni dan memerangi dirinya, non diri (prakrti) adalah prisnsip puna lain yang elemen pembentuknya dalam keseimbangan, yakni yang tak termenifestasi.
Bhagawadgita memperlihatkan bagaimana mereka menjauhi pantangan, kesenangan, menyendiri mengatur pernafasan, memusatkan pikir mencapai keseimbangan, mencapai pengertian hidup yang sempurna melalui simpati, cinta itulah teladan Budha dalam mencari Tuhan. Jalan tindakan Gita memiliki tujuan meluruskan hati Arjuna yang sedang risau karna perintah berperang dari sang Guru. Gita adalah amanat untuk bertindak dan menyelamatkan hidup dari belenggu jiwa yang didasarkan dari kedunguan, kebodohan dan ketidak tahuan.
Manusia dan hewan adalah sama, satu yang membedakannya adalah akal fikiran. Dharma setra, adalah medan perang bagi perjuangan moral dihati manusia, disanalah Tuhan sebagai pelindung dharma. Di dunia ada banyak elemen ketidak sempurnaan, kejahatan dan irasionalitas. Hukum kehidupan diatur oleh kematian anya, inilah aspek penglihatan yang dilihat Arjuna di medan perang.
Perang merupakan penghukuman dan sekaligus penyucian dosa bagi umat manusia Ia adalah hakim sekaligus penebus dosa, Ia penghancur sekaligus pencipta Ia adalah Syiwa dan Wisnu. Ketika genderang perang Bharata Yudha Arjuna sedih karena penyadarannya tentang perang yang berarti seluruh tatanan hidup, cita-cita bangsa dan bakti yang selama ini dihayati terpaksa ditinggalkan. Dan dam perang itu ia harus memusnahkan musuh-musuh yang tak lain adalah orang-orang yang terkasih dan dihormatinya.
Kebahagiaan apa yang didapatan dari kemenangan perang itu, membunuh orang-orang berdosa adalah dosa. Kendatipun pemilik jiwa-jiwa pendosa iu dibunuh apakah jiwa-jiwanya akan mati, jiwa-jiwa itu dengan rasa loba dibutakan nafsu membuat tradisi social dihancurkan lalu kemudian kehancuran tradisi social itu sebagai kehendak dalam perang akan membebaskan jiwa-jiwa itu dari kekacauan? Itulah kesedihan Arjuna, yang merupakan dramatisasi persoalan pelik dihadapan kehidupan sepiritual yang tinggi, rasa kacewa terhadap gemerlap dunia tapi masih menginginkan ilusi itu. Ia harus melawan sikap mementingkan diri sendiri ketika Arjuna tergoda untuk meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya maka Krishna dalam diri terdalamnya, antara ia dengan Tuhan tidak lagi membutuhkan perantara, Tuhan bertemu Arjuna dalam dialog yang terus menerus.
Dalam keadaan kegersangan, kesedihan dan kebingungan akan tindakan maka arjuna mencari penerangan dan bimbingan dari gurunya. Arjuna adalah manusia bertindak, ia meminta prinsip dan hukum tindakan untuk dharmanya, ia menyadari kelemahan dan kebodohan serta mencari kehendak Tuhan. Kesadaran, integral dan komprehensif mendamaikan jiwa Arjuna, suara Illahi Krishna bahwa Tuhan yang maha mengerti kesedihan dan penderitaan manusia.
Manusia bijak tidak akan menangisi mereka yang mati atau mereka yang hidup. Tak pernah ada aku , atau engkau, atau para raja, tiada bahkan setelah kita mati. Tubuh tak berarti, perwujudan jiwa bersifat abadi. Tak ada kewajiban yang mengharuskan untuk merasa senang dengan kesuksesan atau bersedih dengan kegagalan, kesadaran ego yang merasakan gembira atau bersedih. Ketika pikiran terbebas dari hasrat maka ketenangan dan kesadaran menerima apapun yang terjadi dengan hati lapang.
Tubuh jasmaniah dibungkus dengan jiwa (yang abadi) jiwa tak dapat dimusnahkan. Yang abadi yang terbelenggu berpindah dari satu raga ke raga yang lain, ketika perang membuat fisik terbebas melepaskan jiwa, jiwa tetap hidup, ia tak bias dilukai ataupun dihancurkan. Kesedihan Arjuna tidak beralasan karena dunia dan hidup berputar, yang hidup akan mati dan yang mati pasti terlahir kembali.
Nasihat-nasihat Krishna berangkat dari kesedihan Arjuna yang hendak menolak perang karena perasaan sentimental, tindakan perang baginya membunuh saudarnya sendiri. Lemah jiwa berasal dari rasa belas kasih yang sentimental. penolakan rasa ini penyadaran langkah sendiri menuju penalaran kesempurnaan jiwa yang hidup. Arjuna harus menyadari akan kelemahan dan kebodohan diri dalam melaksanakan kehendak Tuhan.
Suara Ilahi Krishna dalam Arjuna mengatakan, janganlah bersedih menangisi yang sebenarnya tidak pernah ada, tubuh yang membungkus jiwanya sendiri yang sebenarnya sendirinya tak pernah ada, seumpama Sang Begawan berkata ; manusia bijak tidaklah menangisi mereka yang mati ataupun mereka yang hidup.
Kesimpulan
Tuhan mencipta manusia dengan kuasanya sendiri, kesucian (brahmisthiti) yang dimiliki Arjuna yang dapat melihat wajah Tuhan. Diri (Brahman) yang cukup dengan diri, dan puas dengan diri maka ia tak lagi memerlukan ikatan kerja.Cinta dan kebencian pada suatu keinginan terletak pada obyek keinginan itu sendiri, dan keduanya adalah penghalang.
Avatara (titisan) yang illahi menyingkapkan kondisi mengada pada diri manusia yang harus dicapai, ia mempunyi sejumlah fungsi dalam proses kosmik yang menunjukan kehidupan spiritual dan kehidupan di dunia tak sempurna yang dikendalikan oleh keinginan daging dan kejahatan dan tugas kita yang harus menyempurnakan jiwa.
Tahapan purna dalam pandangan hidup Hindu, disebut samnyasa, yakni meninggalkan tahap ritual upacara dan tanggungjawab social. Tahapan-tahapan ini mengendalikan nafsu yang mengusai jiwa, hingga mencapai kebijaksanaan, ia mampu melepaskan diri dari rasa sedih dan senang.
Jiwa Arjuna yang risau memerlukan bimbingan sang guru, dan itulah hakikat ajaran Hindu tentang kebjaksanaan, penguasaan jiwa terhadap diri. Jiwa yang terbebas dari belenggu itulah sebenarnya ajaran Hindu, jiwa akan tetap hidup, terlepas apakah ia baik atau jahat, ia hanya memerlukan tubuh untk menetapkan dirinya dalam wujud yang lain.
Bhagawadgita tentang ajaran kebijaksaan yang sepatutnya menjadi penyucian jiwa, ungkapan-ungkapan bahasa yang indah menghantarakan ajarannya yang suci mudah dipahami selayaknya kitab-kitab ajaran kehidupan. Pesan-pesan yang tertuang merupakan transcendent jiwa ilahi yang terpancar dalam Krishna yang merupakan jiwa Arjuna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar