Selasa, 02 Oktober 2012

KISAH SEDIH PADA SUATU SORE



Ilham tertunduk lesu, kepala sekolah sangat marah, wajahnya merah bagai kepiting rebus, dengan gusar kepala sekolah berkata, “ mulai hari ini kamu di keluarkan dari sekolah……!!!” BRakkkk….. kepala sekolah memukul meja sampai Ilham tersentak kaget, sekejap kemudian kepala sekolah berlalu  dengan lengan dikepal.
Ilham tak mampu lagi berkata apa-apa, tertunduk dan lemas, sekujur tubuhnya bergetar, marah dan kesal bercampur menjadi satu, mengapa ia harus dikeluarkan dari sekolah itu…….??
“ baik…. memang aku tidak perlu sekolah… sekolah hanya memenjarakan diriku, memenjarakan kebebasanku, sekolah menghalangi kesenanganku…..apa yang salah kalau aku suka berantem, suka bolos, suka menonton video porno… apa yang salah??? Toh semua orang juga melakukan hal yang sama, tidak siswa, guru, karyawan, mahasiswa, pejabat atau ustad-ustadpun begitu. Lalu kenapa kepala sekolah tidak adil kepadaku?? Mengapa larangan itu hanya berlaku kepadaku…..???” tubuhnya gemetar menahan amarah atas ketidak adilan itu.
Ilham…. Siswa kelas XII, memang melalui hari-harinya penuh dengan siksaan, lahir maupun bathin. Ibunya pergi dengan laki-laki lain karena ayah Ilham tidak mampu memberikan kehidupan yang layak baginya, Ilham diasuh sendiri oleh ayahnya, namun Ilham tidak pernah merasakan kasih sayang, yang ia tahu setiap hari harus menerima pukulan, setiap kegiatan diawali dengan pukulan. Setiap hari….. bahkan hendak pergi tidurpun Ilham harus menerima pukulan sebagai ucapan selamat malam dari sang ayah.
***
Sukardi…. Ayah Ilham bukan lelaki yang malas, setiap hari bekerja sebagai tukang parkir, sekali-sekali menjambret ibu-ibu yang lengah dalam perjalanan, atau sekali-sekali menjadi kurir narkoba. Bukan Sukardi tidak tau pekerjaannya itu tidak baik, namun apa yang harus dikerjakan seorang mantan narapidana???  Sukardi membunuh dan melakukan perampokan, dan 10 tahun penjara sebagai tempat tinggal sukardi. Tindakan criminal Sukardi sebagai bentuk protes kepada dunia, karena dunia tidak adil baginya. Istri yang sangat dicintainya pergi dengan lelaki lain dan ia harus hidup hanya bersama Ilham, anaknya lelakinya.  
Sukardi, mantan atlet karate, sewaktu muda berbagai pretasi diraih, piala,piagam dan  medali dikumpulkannya dalam lemari, dan sampai kini masih disimpannya meskipun semua itu tidak memberikan kehidupan yang layak, dengan setia Sukardi menyimpannya di dalam lemari butut.
Kekecewaan demi kekecewaan dirasakannya, apa yang dilakukannya selalu menjadi masalah dirinya dengan para tetangga, hubungan yang tidak baik dengan orang lain membuatnya sangat tertekan, hidupnya sudah penuh dengan noda dan dosa, bahkan irisan waktu baginya hanyalah bongkahan waktu yang akan menggulungnya dengan kematian perlahan. Menyakitkan dan sungguh berat meniti hari-hari kelabu, tanpa harapan yang jelas, tanpa rona-rona kebahagiaan tanpa rasa damai.
Sukardi menyadari dirinya bukan orang baik, ia juga sadar bahwa orang-orang takut bahkan benci padanya, dan Sukardi tidak peduli semua itu. Hanya satu yang selalu diungkapkannya dalam do’a tak sengaja, ia tidak ingin anaknya seperti dirinya. Ia sering mengatakan kepada dirinya bahwa ia sangat menyayangi Ilham anak semata wayang. Ya…. Ia bertahan hidup hanya demi Ilham…. Tapi sungguh amat kecewa Ilham tidak mampu menjadi orang yang ia harapkan, setiap hari berantem, malak, mabuk, nilai raportnya selalu merah. Bahkan berkali-kali ia mendapatkan surat teguran dari sekolah tentang prilaku anaknya. Ya Tuhan…… apakah anakku akan mewarisi semua kelakuanku…? Apakah anakku akan menjadi narapidana juga?? Bagaimana aku harus mengatakannya pada Ilham bahwa aku tidak mau dia seperti aku, tapi kenyataan hari ini…. Nyaris Ilham akan menjadi seperti diriku… ya Tuhan… mengapa Engkau tidak adil kepadaku… Sukardi tak mampu menahan genang airmatanya…..rambut yang kusut ia sibakkan, tangannya yang dekil mengusap perlahan airmata. Pandangannya nanar… ia tak melihat apa-apalagi dihadapnnya, hanya sebuah sinar putih menyilaukan, matanya tak sanggup menahan rasa silau itu. Surat  pemecatan sekolah Ilham digenggam erat, seolah tak ingin melepaskannya………... brukkk…. Secepat kilat tubuh Sukardi ambruk… darah berceceran, Sukardi memegang kepalanya, pusing… samar-samar ia hanya melihat bayangan…….hitam dan kemudian gelap…..
***
Ilham duduk terpaku dihadapan ayahnya, ia tak mampu berkata sepatahpun…. Ia hanya menatap tajam ayahnya, gendang telinganya seakan robek seketika mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Sukardi.
“ Nak….. ayah hanya ingin melihat kau sekolah…. Sampai lulus SMA, cuma itu. Ayah tahu kau tak pernah punya prestasi, tapi kau pandai berkelahi…. Ayah mohon kembangkanlah ilmu bela dirimu……” sukardi berhenti sesaat, menghela nafas karena terasa begitu berat udara yang masuk ke rongga dadanya. Kemudian Sukardi melanjutkan amanahnya.
“ Nak… ayah adalah mantan narapidana, ayah tidak ingin engkau seperti ayah….. tolong penuhi permintaan ayah…. Carilah sekolah, engkau harus sekolah… sampai tamat SMA saja… tidak lebih dari itu….. ” Sukardi berhenti bicara, air matanya tak mampu lagi ditahan, mengalir deras. Tangannya berusaha meraih tangan Ilham, dalam genggamannya Sukardi berkata “ Nak….. ayah sekarat…..tidak akan lama lagi ayah akan mati, satu hal yang harus kau tahu ayah sangat sayang kepadamu…..ayah akan bertahan sampai datangnya kematian ini…. hanya dengan satu syarat… kamu cari sekolah dan bawa kepala sekolah kepada ayah… karena ayah akan menitipkan kamu, agar kamu bisa lulus dari SMA…” genggaman tangan Sukardi begitu erat, rasa damai tiba-tiba lham rasakan, aneh… seumur hidup ayah tidak pernah menggenggam tangannya, apalagi berkata dengan lembut. Tangan ayah selalu memukulnya, mulut ayah selalu memakinya…. Dan Ilham benci dengan ayah, tapi hari ini ayah sangat berbeda, tatapannya penuh dengan kehangatan, menggenggam tangannya begitu erat seakan sedang menunjukan kepada dunia kalau ia adalah ayah yang sangat menyayanginya. Rasa bahagia menyeruak dalam kalbu.
“baik ayah…. Aku akan cari sekolah, dan membawa kepala sekolah kepada ayah, agar ayah menitipkan aku, agar aku lulus sekolah SMA…” hatinya miris, miris sekali…. Pikirannya menerawang jauh… kemana ia mencari sekolah…?? Ia sudah di black list…. Banyak kasus yang menjeratnya, bolak-balik BP bahkan kantor polisi. Tawuran, kenakalan, narkoba, video porno bahkan kasus criminal pencurian bermotor. Ya Tuhan….. apakah ada satu saja sekolah yang akan menerimaku sebagai siswa…?? Hatinya begitu perih, sedih, marah dan entah prasaan apalagi yang dirasakannya.
***
Ilham merasakan kakinya amat sakit, pegal karena terus berjalan…… dari sekolah ke sekolah, mencari sekolah yang bersedia menerima dirinya. Bukan hal yang mudah karena semua sekolah sudah mengetahui background dirinya, semua sudah memblack list. Seperti hari itu ratusan sekolah ia masuki dan ratusan sekolah itu menolaknya.
Ilham berdiri di pintu kepala sekolah SMA Nusantara, bu Annida, ia begitu bimbang hatinya sangat sedih SMA Nusantara adalah sekolah yang ke-101 yang menolaknya. Tapi ia sungguh ia bingung apa yang harus dilakukannya??? Ayah sedang sekarat di Rumah Sakit dan hanya itu permintaannnya Ya Tuhaann…… tolong aku…. Ilham menjerit dalam hati. Ia termenung sekejap kemudian ia membalikan tubuhnya, mengetuk kembali ruangan Bu Annida, tanpa menunggu jawaban Ilham menerobos masuk…… berdiri dihadapan Bu Annida, wajah kepala sekolah itu terlihat marah dengan tindakan Ilham, sambil mengacungkan jari telunjuk kepala sekolah berkata,
“ Hei…. Anak tidak tahu diri…. tidak punya kesopanan ….. !!! siapa yang menyuruhmu masuk ruanganku hah…..!!!!”
“Bu……. Saya mohoooon….. tolong saya… ibu berkenan bertemu ayah saya, dan mengatakan bahwa saya sekolah disini, bu…. Hanya pura-pura saja…. Saya tidak akan memaksa untuk sekolah jika ibu meolak saya menjadi siswa disini…. Demi Tuhan bu… saya hanya minya tolong, ibu temui ayah saya… hanya sekaliii saja buuu…. Ayah sedang sekarat….” Ilham memohon, berlutut di hadapan Bu Annida, wajahnya menyiratkan permohonan yang sangat, penuh dengan kejujuran, ketakutan dan rasa cemas….. Bu Annida memandang tak berkedip, bimbang…. Sebagai professional ia tak mungkin berbohong, tak mungkin melakukan perbuatan bodoh seperti itu. Namun sebagai manusia Bu Annida merasa kasian kepada Ilham. Dengan berat ia mengangguk tanda setuju, “Namun dengan syarat saya hanya menemui ayahmu dan tidak berkata apa-apa, karena saya tidak mungkin berbohong…….” Ilham sangat berterimakasih, ia mencium tangan Bu Annida sebagai tanda rasa syukur atas kesediaan Bu Annida.  
***
“ Terimakasih…. Bu Annida sudah menerima anak saya, sehingga Ilham bisa sekolah lagi…. Saya titip anak saya, bimbing dia menjadi anak yang berprestasi, menjadi anak yang baik…. Jangan seperti saya, mantan narapidana…. Bu Annida…. Saya titip, dan mohon bimbing dia, saya sekarat….. sebentar lagi kematian akan menghampiri saya…..” Sukardi berhenti sesaat, Bu Annida mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba memahami perasaan Sukardi, sungguh ia tak mampu berkata, berkata bohong, bahwa sebenarnya ia tidak menerima Ilham sebagai murid di sekolahnya, ia hanya memenuhi permintaan Ilham menemui ayahnya karena sekarat….. Bu Annida menyembunyikan perasaan sedihnya, dibalik kacamata tebalnya.
“ Ilham…. Ayah berpesan… belajarlah yang rajin…. Ayah tau kamu tidak akan menjadi juara kelas…. Tapi kamu punya ilmu beladiri…. Jangan sia-siakan kemampuanmu, ayah sayang sama kamu…..” matanya berkaca-kaca, hatinya merasa amat pilu, sedih tak tertahankan…. Ia tahu anaknya berbohong dengan membawa kepala sekolah kehadapannya, ia tahu  Ilham hanya melakukan permintaannya bertemu kepala sekolah, ia juga tahu kalau Ilham tidak mungkin diterima sekolah manapun… ia tahu itu semua itu… tapi Sukardi menyembunyikan rasa sedihnya itu, menekan dan menyimpannya disisa umur yang hanya beberapa detik lagi. Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya, meskipun ia tahu Ilham berbohong……
Sukardi menggapai lengan Ilham digenggamnya erat….. menatap bola mata Ilhman dengan lembut, seraya berkata, “ Nak ayah akan mati saat ini juga….. tapi kematian yang sangat membahagiakan karena kau telah memenuhi permintaan ayah, yaitu sekolah……..”  Sukardi memejamkan mata perlahan, menyungging senyum tanda bahagia Ilham bisa sekolah……..
Ilham tak kuasa, airmata mengalir deras bak banjir bandang…….. tertunduk, sekujur tubuhnya bergetar…. Tuhan,,,, apa yang harus aku lakukan…? Atas kebohonganku kepada ayah? Ilham menjerit memanggil Tuhannya……
***
Tepuk tangan membahana memenuhi ruangan Graha Pancasila, hari itu….. sebuah medali emas disematkan dileher Ilham, kejuaraan karateka. Kelas Katak diraih dengan sempurna. Wajah Ilham berseri menahan perasaan bahagia dan sedih yang bercampur. Sejak kematian ayahnya ia bekerja keras, berlatih setiap hari, tiada hari tanpa dilaluinya dengan latihan, sangat keras, Bu Annida memberinya kesempatan untuk belajar di sekolah, sebagai tebusan atas perbuatan bohongnya kepada Sukardi. Ilham akan sangat malu jika menyia-nyiakan kesempatan itu, diatas pusara ayahnya Ilham berjanji mengembangkan ilmu beladirinya, dan lulus dari SMA….
***
“Ayah….. aku datang sebagai anak ayah… yang ayah sayangi, dan hari ini aku menjadi seperti yang kau inginkan…..berprestasi dan sekolah” . perasaannya begitu mendalam, haru, bahagia dan sedih. “Ayah tidak akan pernah melihatku sebagai anak yang berprestasi dan lulus sekolah”
“ayah… aku sayang ayah……” pusara itu dipeluknya, Bu Annida menyentuh pundak Ilham dengan perlahan. Sejenak Ilham memandang Bu Annida, yang kini menjadi ibunya atau ia anggap sebagai ibunya.
Tanah pekuburan, semakin hening….. aroma tanah merah menyengat, bunga kemboja jatuh di atas pusara, suasana senyap, dedaunan ditiup semilir angin seolah tanda belasungkawa atas kesedihan Ilham, kesedian yang kini tidak lagi lengkap karena sebongkah bahagia menyeruak di dalam dada, sesal tiada berguna, tangisan hanya sebagai teman kala ingat masa lalu……tapi hari ini, esok dan lusa segera diukir dengan sejuta cita-cita sebagai anak bangsa….anak ayah, seorang lelaki dan lulus SMA….
***
Aku mengusap titik air mata dibalik kacamata minus yang kukenakan, Putri menutup cerita. Tampak pula ia berkaca-kaca, dan berkata, “ Mah….. bukankah sangat sedih ketika kita menunjukan suatu keberhasilan, tapi orang yang kita sayangi tidak pernah melihatnya..?”
Aku mengangguk, mengusap kepalanya dengan perlahan. Putri mengaduk-aduk mie bakso yang tak kunjung habis karena terpotong cerita ‘Ilham’. Motivasi yang sangat mahal, ungkapnya.
“Ya… motivasi yang sangat mahal…. Jadikan Ilham sebagai motivasi, karena waktu tidak pernah kembali…. Kebahagiaan adalah menunjukan keberhasilan kepada orang-orang yang kita sayangi, dan kebahagiaan orang tua adalah menghantarkan anak-anaknya menjadi anak yang berprestasi, dan menjadi baik”.
Putri memelukku seraya mengambil BB, “kita foto dulu yukkk……” jeprat, jepret…… beberapa foto kami berdua diambilnya sendiri, dan seterusnya ku upload sebagai ungkapan kerinduan kepada sang buah hati.
Waktu memang tak pernah bisa kembali, seperti sore itu pukul 17.15 wib sudah  tanpa terasa, dan aku harus pulang meninggalkannya kembali di asrama, dia belajar lagi untuk bekal masa depannya.
Lambaian tangannya masih kurasakan hingga tulisan ini selesai, inspirasi sering kudapatkan darinya, yah…. Anak memang penuh dengan jutaan cerita, dan jutaan cerita mengalir dari mereka, anak-anak kita, buah hati kita……………. Anak, sebuah masa depan.

Serang, Banten, 1 Oktober 2012