Ilham
tertunduk lesu, kepala sekolah sangat marah, wajahnya merah bagai kepiting
rebus, dengan gusar kepala sekolah berkata, “ mulai hari ini kamu di keluarkan
dari sekolah……!!!” BRakkkk….. kepala sekolah memukul meja sampai Ilham
tersentak kaget, sekejap kemudian kepala sekolah berlalu dengan lengan dikepal.
Ilham tak
mampu lagi berkata apa-apa, tertunduk dan lemas, sekujur tubuhnya bergetar,
marah dan kesal bercampur menjadi satu, mengapa ia harus dikeluarkan dari
sekolah itu…….??
“ baik….
memang aku tidak perlu sekolah… sekolah hanya memenjarakan diriku, memenjarakan
kebebasanku, sekolah menghalangi kesenanganku…..apa yang salah kalau aku suka
berantem, suka bolos, suka menonton video porno… apa yang salah??? Toh semua
orang juga melakukan hal yang sama, tidak siswa, guru, karyawan, mahasiswa, pejabat
atau ustad-ustadpun begitu. Lalu kenapa kepala sekolah tidak adil kepadaku??
Mengapa larangan itu hanya berlaku kepadaku…..???” tubuhnya gemetar menahan
amarah atas ketidak adilan itu.
Ilham….
Siswa kelas XII, memang melalui hari-harinya penuh dengan siksaan, lahir maupun
bathin. Ibunya pergi dengan laki-laki lain karena ayah Ilham tidak mampu
memberikan kehidupan yang layak baginya, Ilham diasuh sendiri oleh ayahnya,
namun Ilham tidak pernah merasakan kasih sayang, yang ia tahu setiap hari harus
menerima pukulan, setiap kegiatan diawali dengan pukulan. Setiap hari….. bahkan
hendak pergi tidurpun Ilham harus menerima pukulan sebagai ucapan selamat malam
dari sang ayah.
***
Sukardi….
Ayah Ilham bukan lelaki yang malas, setiap hari bekerja sebagai tukang parkir,
sekali-sekali menjambret ibu-ibu yang lengah dalam perjalanan, atau
sekali-sekali menjadi kurir narkoba. Bukan Sukardi tidak tau pekerjaannya itu
tidak baik, namun apa yang harus dikerjakan seorang mantan narapidana??? Sukardi membunuh dan melakukan perampokan,
dan 10 tahun penjara sebagai tempat tinggal sukardi. Tindakan criminal Sukardi
sebagai bentuk protes kepada dunia, karena dunia tidak adil baginya. Istri yang
sangat dicintainya pergi dengan lelaki lain dan ia harus hidup hanya bersama
Ilham, anaknya lelakinya.
Sukardi,
mantan atlet karate, sewaktu muda berbagai pretasi diraih, piala,piagam
dan medali dikumpulkannya dalam lemari, dan
sampai kini masih disimpannya meskipun semua itu tidak memberikan kehidupan
yang layak, dengan setia Sukardi menyimpannya di dalam lemari butut.
Kekecewaan
demi kekecewaan dirasakannya, apa yang dilakukannya selalu menjadi masalah
dirinya dengan para tetangga, hubungan yang tidak baik dengan orang lain
membuatnya sangat tertekan, hidupnya sudah penuh dengan noda dan dosa, bahkan
irisan waktu baginya hanyalah bongkahan waktu yang akan menggulungnya dengan
kematian perlahan. Menyakitkan dan sungguh berat meniti hari-hari kelabu, tanpa
harapan yang jelas, tanpa rona-rona kebahagiaan tanpa rasa damai.
Sukardi
menyadari dirinya bukan orang baik, ia juga sadar bahwa orang-orang takut bahkan
benci padanya, dan Sukardi tidak peduli semua itu. Hanya satu yang selalu
diungkapkannya dalam do’a tak sengaja, ia tidak ingin anaknya seperti dirinya.
Ia sering mengatakan kepada dirinya bahwa ia sangat menyayangi Ilham anak
semata wayang. Ya…. Ia bertahan hidup hanya demi Ilham…. Tapi sungguh amat
kecewa Ilham tidak mampu menjadi orang yang ia harapkan, setiap hari berantem,
malak, mabuk, nilai raportnya selalu merah. Bahkan berkali-kali ia mendapatkan
surat teguran dari sekolah tentang prilaku anaknya. Ya Tuhan…… apakah anakku
akan mewarisi semua kelakuanku…? Apakah anakku akan menjadi narapidana juga??
Bagaimana aku harus mengatakannya pada Ilham bahwa aku tidak mau dia seperti
aku, tapi kenyataan hari ini…. Nyaris Ilham akan menjadi seperti diriku… ya
Tuhan… mengapa Engkau tidak adil kepadaku… Sukardi tak mampu menahan genang
airmatanya…..rambut yang kusut ia sibakkan, tangannya yang dekil mengusap
perlahan airmata. Pandangannya nanar… ia tak melihat apa-apalagi dihadapnnya,
hanya sebuah sinar putih menyilaukan, matanya tak sanggup menahan rasa silau
itu. Surat pemecatan sekolah Ilham
digenggam erat, seolah tak ingin melepaskannya………... brukkk…. Secepat kilat
tubuh Sukardi ambruk… darah berceceran, Sukardi memegang kepalanya, pusing…
samar-samar ia hanya melihat bayangan…….hitam dan kemudian gelap…..
***
Ilham duduk
terpaku dihadapan ayahnya, ia tak mampu berkata sepatahpun…. Ia hanya menatap
tajam ayahnya, gendang telinganya seakan robek seketika mendengar kalimat demi
kalimat yang keluar dari mulut Sukardi.
“ Nak…..
ayah hanya ingin melihat kau sekolah…. Sampai lulus SMA, cuma itu. Ayah tahu
kau tak pernah punya prestasi, tapi kau pandai berkelahi…. Ayah mohon
kembangkanlah ilmu bela dirimu……” sukardi berhenti sesaat, menghela nafas
karena terasa begitu berat udara yang masuk ke rongga dadanya. Kemudian Sukardi
melanjutkan amanahnya.
“ Nak… ayah
adalah mantan narapidana, ayah tidak ingin engkau seperti ayah….. tolong penuhi
permintaan ayah…. Carilah sekolah, engkau harus sekolah… sampai tamat SMA saja…
tidak lebih dari itu….. ” Sukardi berhenti bicara, air matanya tak mampu lagi
ditahan, mengalir deras. Tangannya berusaha meraih tangan Ilham, dalam
genggamannya Sukardi berkata “ Nak….. ayah sekarat…..tidak akan lama lagi ayah
akan mati, satu hal yang harus kau tahu ayah sangat sayang kepadamu…..ayah akan
bertahan sampai datangnya kematian ini…. hanya dengan satu syarat… kamu cari
sekolah dan bawa kepala sekolah kepada ayah… karena ayah akan menitipkan kamu,
agar kamu bisa lulus dari SMA…” genggaman tangan Sukardi begitu erat, rasa
damai tiba-tiba lham rasakan, aneh… seumur hidup ayah tidak pernah menggenggam tangannya,
apalagi berkata dengan lembut. Tangan ayah selalu memukulnya, mulut ayah selalu
memakinya…. Dan Ilham benci dengan ayah, tapi hari ini ayah sangat berbeda,
tatapannya penuh dengan kehangatan, menggenggam tangannya begitu erat seakan
sedang menunjukan kepada dunia kalau ia adalah ayah yang sangat menyayanginya.
Rasa bahagia menyeruak dalam kalbu.
“baik ayah….
Aku akan cari sekolah, dan membawa kepala sekolah kepada ayah, agar ayah
menitipkan aku, agar aku lulus sekolah SMA…” hatinya miris, miris sekali….
Pikirannya menerawang jauh… kemana ia mencari sekolah…?? Ia sudah di black
list…. Banyak kasus yang menjeratnya, bolak-balik BP bahkan kantor polisi.
Tawuran, kenakalan, narkoba, video porno bahkan kasus criminal pencurian
bermotor. Ya Tuhan….. apakah ada satu saja sekolah yang akan menerimaku sebagai
siswa…?? Hatinya begitu perih, sedih, marah dan entah prasaan apalagi yang
dirasakannya.
***
Ilham
merasakan kakinya amat sakit, pegal karena terus berjalan…… dari sekolah ke
sekolah, mencari sekolah yang bersedia menerima dirinya. Bukan hal yang mudah
karena semua sekolah sudah mengetahui background dirinya, semua sudah memblack
list. Seperti hari itu ratusan sekolah ia masuki dan ratusan sekolah itu
menolaknya.
Ilham
berdiri di pintu kepala sekolah SMA Nusantara, bu Annida, ia begitu bimbang
hatinya sangat sedih SMA Nusantara adalah sekolah yang ke-101 yang menolaknya.
Tapi ia sungguh ia bingung apa yang harus dilakukannya??? Ayah sedang sekarat
di Rumah Sakit dan hanya itu permintaannnya Ya Tuhaann…… tolong aku…. Ilham
menjerit dalam hati. Ia termenung sekejap kemudian ia membalikan tubuhnya,
mengetuk kembali ruangan Bu Annida, tanpa menunggu jawaban Ilham menerobos
masuk…… berdiri dihadapan Bu Annida, wajah kepala sekolah itu terlihat marah
dengan tindakan Ilham, sambil mengacungkan jari telunjuk kepala sekolah
berkata,
“ Hei…. Anak
tidak tahu diri…. tidak punya kesopanan ….. !!! siapa yang menyuruhmu masuk
ruanganku hah…..!!!!”
“Bu……. Saya
mohoooon….. tolong saya… ibu berkenan bertemu ayah saya, dan mengatakan bahwa
saya sekolah disini, bu…. Hanya pura-pura saja…. Saya tidak akan memaksa untuk
sekolah jika ibu meolak saya menjadi siswa disini…. Demi Tuhan bu… saya hanya
minya tolong, ibu temui ayah saya… hanya sekaliii saja buuu…. Ayah sedang sekarat….”
Ilham memohon, berlutut di hadapan Bu Annida, wajahnya menyiratkan permohonan
yang sangat, penuh dengan kejujuran, ketakutan dan rasa cemas….. Bu Annida
memandang tak berkedip, bimbang…. Sebagai professional ia tak mungkin
berbohong, tak mungkin melakukan perbuatan bodoh seperti itu. Namun sebagai
manusia Bu Annida merasa kasian kepada Ilham. Dengan berat ia mengangguk tanda
setuju, “Namun dengan syarat saya hanya menemui ayahmu dan tidak berkata
apa-apa, karena saya tidak mungkin berbohong…….” Ilham sangat berterimakasih,
ia mencium tangan Bu Annida sebagai tanda rasa syukur atas kesediaan Bu Annida.
***
“
Terimakasih…. Bu Annida sudah menerima anak saya, sehingga Ilham bisa sekolah
lagi…. Saya titip anak saya, bimbing dia menjadi anak yang berprestasi, menjadi
anak yang baik…. Jangan seperti saya, mantan narapidana…. Bu Annida…. Saya
titip, dan mohon bimbing dia, saya sekarat….. sebentar lagi kematian akan
menghampiri saya…..” Sukardi berhenti sesaat, Bu Annida mengangguk-anggukkan
kepalanya, mencoba memahami perasaan Sukardi, sungguh ia tak mampu berkata,
berkata bohong, bahwa sebenarnya ia tidak menerima Ilham sebagai murid di
sekolahnya, ia hanya memenuhi permintaan Ilham menemui ayahnya karena
sekarat….. Bu Annida menyembunyikan perasaan sedihnya, dibalik kacamata
tebalnya.
“ Ilham….
Ayah berpesan… belajarlah yang rajin…. Ayah tau kamu tidak akan menjadi juara
kelas…. Tapi kamu punya ilmu beladiri…. Jangan sia-siakan kemampuanmu, ayah
sayang sama kamu…..” matanya berkaca-kaca, hatinya merasa amat pilu, sedih tak
tertahankan…. Ia tahu anaknya berbohong dengan membawa kepala sekolah
kehadapannya, ia tahu Ilham hanya
melakukan permintaannya bertemu kepala sekolah, ia juga tahu kalau Ilham tidak
mungkin diterima sekolah manapun… ia tahu itu semua itu… tapi Sukardi
menyembunyikan rasa sedihnya itu, menekan dan menyimpannya disisa umur yang
hanya beberapa detik lagi. Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya, meskipun ia
tahu Ilham berbohong……
Sukardi
menggapai lengan Ilham digenggamnya erat….. menatap bola mata Ilhman dengan
lembut, seraya berkata, “ Nak ayah akan mati saat ini juga….. tapi kematian
yang sangat membahagiakan karena kau telah memenuhi permintaan ayah, yaitu
sekolah……..” Sukardi memejamkan mata
perlahan, menyungging senyum tanda bahagia Ilham bisa sekolah……..
Ilham tak
kuasa, airmata mengalir deras bak banjir bandang…….. tertunduk, sekujur
tubuhnya bergetar…. Tuhan,,,, apa yang harus aku lakukan…? Atas kebohonganku
kepada ayah? Ilham menjerit memanggil Tuhannya……
***
Tepuk tangan
membahana memenuhi ruangan Graha Pancasila, hari itu….. sebuah medali emas disematkan
dileher Ilham, kejuaraan karateka. Kelas Katak diraih dengan sempurna. Wajah
Ilham berseri menahan perasaan bahagia dan sedih yang bercampur. Sejak kematian
ayahnya ia bekerja keras, berlatih setiap hari, tiada hari tanpa dilaluinya
dengan latihan, sangat keras, Bu Annida memberinya kesempatan untuk belajar di
sekolah, sebagai tebusan atas perbuatan bohongnya kepada Sukardi. Ilham akan
sangat malu jika menyia-nyiakan kesempatan itu, diatas pusara ayahnya Ilham
berjanji mengembangkan ilmu beladirinya, dan lulus dari SMA….
***
“Ayah….. aku
datang sebagai anak ayah… yang ayah sayangi, dan hari ini aku menjadi seperti
yang kau inginkan…..berprestasi dan sekolah” . perasaannya begitu mendalam,
haru, bahagia dan sedih. “Ayah tidak akan pernah melihatku sebagai anak yang
berprestasi dan lulus sekolah”
“ayah… aku
sayang ayah……” pusara itu dipeluknya, Bu Annida menyentuh pundak Ilham dengan
perlahan. Sejenak Ilham memandang Bu Annida, yang kini menjadi ibunya atau ia
anggap sebagai ibunya.
Tanah
pekuburan, semakin hening….. aroma tanah merah menyengat, bunga kemboja jatuh
di atas pusara, suasana senyap, dedaunan ditiup semilir angin seolah tanda
belasungkawa atas kesedihan Ilham, kesedian yang kini tidak lagi lengkap karena
sebongkah bahagia menyeruak di dalam dada, sesal tiada berguna, tangisan hanya
sebagai teman kala ingat masa lalu……tapi hari ini, esok dan lusa segera diukir
dengan sejuta cita-cita sebagai anak bangsa….anak ayah, seorang lelaki dan
lulus SMA….
***
Aku mengusap
titik air mata dibalik kacamata minus yang kukenakan, Putri menutup cerita.
Tampak pula ia berkaca-kaca, dan berkata, “ Mah….. bukankah sangat sedih ketika
kita menunjukan suatu keberhasilan, tapi orang yang kita sayangi tidak pernah
melihatnya..?”
Aku
mengangguk, mengusap kepalanya dengan perlahan. Putri mengaduk-aduk mie bakso
yang tak kunjung habis karena terpotong cerita ‘Ilham’. Motivasi yang sangat
mahal, ungkapnya.
“Ya…
motivasi yang sangat mahal…. Jadikan Ilham sebagai motivasi, karena waktu tidak
pernah kembali…. Kebahagiaan adalah menunjukan keberhasilan kepada orang-orang
yang kita sayangi, dan kebahagiaan orang tua adalah menghantarkan anak-anaknya
menjadi anak yang berprestasi, dan menjadi baik”.
Putri
memelukku seraya mengambil BB, “kita foto dulu yukkk……” jeprat, jepret……
beberapa foto kami berdua diambilnya sendiri, dan seterusnya ku upload sebagai
ungkapan kerinduan kepada sang buah hati.
Waktu memang
tak pernah bisa kembali, seperti sore itu pukul 17.15 wib sudah tanpa terasa, dan aku harus pulang
meninggalkannya kembali di asrama, dia belajar lagi untuk bekal masa depannya.
Lambaian
tangannya masih kurasakan hingga tulisan ini selesai, inspirasi sering
kudapatkan darinya, yah…. Anak memang penuh dengan jutaan cerita, dan jutaan
cerita mengalir dari mereka, anak-anak kita, buah hati kita……………. Anak, sebuah
masa depan.
Serang,
Banten, 1 Oktober 2012